Jakarta, CNN Indonesia —
Peneliti konservasi Indonesia mengumumkan penampakan paus pembunuh (Orcinus orca) di kawasan Apung Kaimana, Papua. Kawasan Kaimana sebelumnya ditetapkan sebagai Kawasan Mammal Laut Penting (IMMA) atau Habitat Mamalia Laut Penting, karena banyaknya populasi lumba-lumba dan paus yang sering terlihat mencari makan di kawasan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal Frontiers pada Jumat (10/1), kelompok penelitian yang dipimpin oleh Conservation Indonesia mengungkap temuan baru tentang kemunculan paus pembunuh dan hubungan antara cetacea (mamalia laut) dan paus terapung.
Penelitian yang dilakukan pada Mei 2021 hingga Maret 2023 mengungkap interaksi mamalia laut dengan penangkapan ikan lift net di Kaimana. Survei ini mencatat keberadaan, jumlah dan pola makan mamalia laut.
Focal Species Conservation Program Konservasi Indonesia Iqbal Herwata mengatakan, dalam penelitian tersebut tim mengidentifikasi lima spesies mamalia laut di perairan Kaima.
Kelima spesies tersebut adalah lumba-lumba bungkuk Australia (Sosa sahulensis), lumba-lumba Indo-Pasifik (Tusiops adancus), lumba-lumba spinner (Stanella longirostris), paus sperma (Balaenoptera adenii), dan paus pembunuh (Orcinus).
Menurut Iqbal, hasil penelitian menunjukkan bahwa lumba-lumba Indo-Pasifik memiliki keterkaitan yang kuat dengan perikanan Bagan. Mereka sering terlihat makan ikan teri di luar bagan jaring pada pagi hari. Sementara itu, spesies lain lebih jarang terlihat.
“Hal ini mungkin terkait dengan preferensi kuat spesies ini terhadap habitat pesisir, yang beroperasi di wilayah penangkapan ikan Kaimana. Selain itu, lumba-lumba bungkuk Australia, paus Bryde, dan lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik telah tercatat sepanjang tahun,” yang menunjukkan bahwa mereka hidup bersama. . penduduk tetap di kawasan tersebut,” kata Iqbal, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (14/1).
Iqbal menjelaskan, dari kelima spesies tersebut, paus pembunuh merupakan rekor baru yang keberadaannya belum pernah dilaporkan sebelumnya di kawasan Kaimana.
Di perairan tropis seperti Indonesia, keberadaan paus pembunuh relatif jarang, dan mungkin hanya 0-0,10 individu per 100 km², karena terbatasnya sumber makanan dan ancaman aktivitas manusia.
Oleh karena itu, spesies ini jarang ditemukan di Indonesia yang merupakan habitat penting mamalia laut Kaimana.
Menurut Iqbal, spesies tersebut masuk dalam Daftar Merah Spesies Terancam Punah IUCN (International Union for Conservation of Nature) dengan kategori “Ancaman Rendah” (dua spesies), “Insufisiensi Informasi” (satu spesies), “Hampir Terancam” (satu spesies). ) . baik hati), dan “sensitif” (sejenis).
Secara khusus, selama periode penelitian, spesies yang paling umum adalah lumba-lumba Indo-Pasifik, dengan 130 kemunculan yang mencakup 49,62 persen dari seluruh penampakan paus, serta tercatat 2.612 individu, atau 72,96 persen dari total individu yang diamati.
Namun, karena penelitian ini tidak menggunakan metode identifikasi fotografis, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memperkirakan populasi lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik dengan lebih akurat.
“Dalam penelitian ini kami melakukan observasi dari fajar hingga senja, sesuai dengan waktu operasi penangkapan ikan. Saat hasil tangkapan melimpah, sebagian jaring tenggelam sehingga menarik perhatian paus dan hiu paus,” jelas Yans Malaiholo, warga negara Indonesia. Tim sektor pertahanan yang melakukan penelitian.
“Selama survei, Indo-Pasifik juga menjadi spesies yang paling banyak terlihat, terutama untuk kota Kaimana, dibandingkan wilayah lain seperti Teluk Bikari, Namatota, atau Teluk Triton,” lanjutnya.
Iqbal mengatakan penelitian tersebut menunjukkan perairan Kaiama tidak hanya penting sebagai kawasan berkumpul dan aktivitas mencari makan ikan paus, namun juga berpotensi memenuhi kriteria tambahan IMMA, yakni keberadaan populasi kecil dan permanen dari tiga spesies paus bungkuk Australia. lumba-lumba, lumba-lumba hidung botol Indo-Amerika, dan paus Bryde, yang tidak dimasukkan dalam penilaian sebelumnya.
Dia menambahkan bahwa pemerintah provinsi Papua Barat harus memastikan langkah-langkah pengelolaan perikanan di wilayah tersebut, karena sebagian besar interaksi antara ikan paus dan perburuan paus terjadi di luar Kawasan Konservasi Laut Kaimana.
Mark Erdman, wakil presiden Marine Program Conservation International, menekankan bahwa penelitian ini adalah yang pertama di Asia yang menggunakan grafik sebagai platform untuk mengamati paus. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan wawasan mengenai keanekaragaman spesies paus, perilaku makan, variasi penampakan dan frekuensi kemunculannya.
Ia mengatakan bahwa para peneliti menyadari bahwa dengan mengandalkan grafik sebagai platform observasi beberapa aspek ekologi paus yang dapat dibahas dalam penelitian ini.
“Misalnya, keanekaragaman spesies mungkin kurang terwakili karena pengamatan terbatas pada lokasi di mana perikanan perkebunan beroperasi, yang sebagian besar berada di wilayah pesisir, sehingga spesies laut dalam berpotensi terlewatkan,” kata Mark.
“Selain itu, kondisi cuaca buruk yang membatasi aktivitas penangkapan ikan juga membatasi upaya survei, sehingga mengakibatkan pemahaman yang tidak lengkap mengenai pola temporal keberadaan cetacea. Oleh karena itu, pola tersebut harus dimaknai sebagai interaksi cetacea khususnya dengan ikan chartreuse,” tutupnya dari (Tim/ DMI )