JAKARTA, CNN Indonesia —
Sambil mengantri untuk mendapatkan air di lumpur, bertelanjang kaki dan wadah kosong di tangan, Allah al-Shawish mengkhawatirkan nasib keluarganya di Gaza tengah, yang saat ini menghadapi musim dingin dan krisis air bersih.
Keluarga Alaa Al-Shawish tinggal di tenda darurat di Deir Al-Balah setelah melarikan diri dari Kota Gaza, tempat mereka ditawan oleh tentara Israel. Namun, tempat yang tidak bisa disebut sebagai rumah baru mereka ini tidak aman bagi mereka.
“Kami sekarat karena kedinginan. Ini bukan kehidupan. Ini bukan kehidupan. Saya berdoa agar kami mati setiap hari agar terbebas dari kehidupan ini,” kata Allah sambil menahan air mata.
“Tidak ada makanan, tidak ada air, tidak ada kehidupan.”
Suhu dingin ekstrem yang baru-baru ini terjadi telah menewaskan banyak warga Palestina, termasuk sedikitnya lima bayi.
Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) memperingatkan pada tanggal 31 Desember bahwa “banyak bayi akan meninggal” dalam beberapa hari mendatang karena situasi tersebut.
Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, bayi di bawah satu tahun tidak dapat bertahan hidup akibat hipotermia. Namun otoritas kesehatan setempat melaporkan, seorang anak berusia dua tahun juga mengalami hal serupa.
“Saya melihat anak-anak saya meninggal di depan mata saya,” kata ayah Jumaa, Yahya Al-Batran, yang meninggal pada 28 Desember 2024, hanya 20 hari setelah ia dilahirkan. Yahya membawa anak yang membeku dan mati itu ke rumah sakitnya.
Saat jenazah putranya dibawa ke rumah sakit, Yahya al-Batran berteriak, “Dia meninggal karena kedinginan.”
Bukan hanya anak-anak. Kementerian Kesehatan Palestina menyebutkan pada 27 Desember 2024, seorang perawat ditemukan tewas karena flu akut di sebuah tenda di al-Mawashi.
Suhu di Gaza bisa naik hingga 10 derajat Celcius akibat angin dan hujan. Suhu tersebut setara dengan suhu terendah di Dieng, Provinsi Jawa Tengah, namun warga Palestina menghadapi suhu tersebut saat tinggal di kamp pengungsi.
Musim dingin di Jalur Gaza tidak hanya membawa suhu yang turun drastis, namun hujan lebat juga menyebabkan banjir bagi para pengungsi Palestina, menambah beban penderitaan karena kehilangan rumah dan keluarga mereka akibat serangan Israel.
Selama beberapa hari terakhir, banyak tenda pengungsi warga Palestina yang mengungsi melintasi Jalur Gaza terendam banjir. Pertahanan Sipil Gaza juga menerima ratusan panggilan darurat pada 30-31 Desember 2024.
Dari keluarga Palestina di kamp pengungsi yang terendam banjir di Al-Mawasi, Rafah, Deir Al-Balah, pusat Kota Gaza dan daerah lain di sepanjang rute.
Unit pertahanan sipil Gaza mengatakan sekitar 1.500 tenda terendam dengan ketinggian lebih dari 30 sentimeter akibat hujan. Banjir juga merusak harta benda, tempat tidur dan tenda mereka yang basah sehingga tidak dapat digunakan lagi.
CNN memberitakan, pada 31 Desember 2024, genangan air memenuhi jalan-jalan pengungsi di Deir al-Balah. Anak-anak dan orang dewasa sama-sama berjuang untuk mengatasi lumpur.
Di dalam tenda yang terbuat dari terpal dan nilon, kasur, karpet, dan pakaian direndam. UNRWA mengatakan lebih dari 100 tenda di Khan Younis mengalami kerusakan parah akibat hujan lebat.
“Pengungsi yang sudah hidup dalam kondisi tidak layak huni akibat perang kini berjuang melawan hujan deras,” kata UNRWA.
“Selimut, kasur dan pakaian hangat disimpan di luar Jalur Gaza menunggu persetujuan masuk dari Israel,” kata UNRWA. “Lebih banyak bantuan kemanusiaan harus dikirim ke Gaza untuk membantu orang-orang tetap hangat di musim dingin ini.”
Menurut COGAT, badan Israel yang berwenang menyetujui pemberian bantuan ke Gaza, pekan lalu mereka memberikan izin bagi 1.290 truk yang membawa bantuan kemanusiaan untuk memasuki Jalur Gaza.
Namun angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata 500 truk per hari atau 3.500 truk per minggu sebelum pecah perang pada 7 Oktober 2023.
Salem Abu Amra adalah salah satu warga sipil yang berani menghadapi cuaca dingin dan kurangnya pasokan di Gaza. Dia mengatakan keluarganya “berjuang untuk bertahan hidup” di tenda darurat di Deir al-Balah.
“Kami menderita karena hujan. “Airnya meluap,” katanya. “Saya punya tiga anak yang kedinginan di kamp semalaman karena cuaca. Mereka membutuhkan pakaian dan tenda, tenda yang layak, yang bisa kami beli.”
(CNN/Akhir)