Banda Aceh, CNN Indonesia —
Selama dua dekade terakhir, Triansyah Putra tak pernah melewatkan satu tahun pun untuk mengunjungi kuburan massal di Uli Leu Banda Aceh dan Siron, Kabupaten Aceh Besar pada 26 Desember.
Ribuan jenazah korban tsunami 2004 yang belum teridentifikasi dikuburkan di sana. Para peziarah yang datang pun berharap keluarganya ada di makam tersebut.
Triansyah, kini berusia 53 tahun, kehilangan seluruh keluarganya akibat tsunami 26 Desember 2004. Hingga saat ini, ia belum mengetahui di mana jenazah mereka, termasuk orang tuanya.
Kediaman Triansyah di Punge Ujong, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, menjadi salah satu wilayah yang paling terdampak tsunami karena jaraknya hanya dua kilometer dari laut.
Keluarga dekat saya, orang tua saya, saudara laki-laki saya, dan paman saya semuanya sudah tiada, kata Triansyah saat ditemui di kuburan massal Uli Lehiu, Kamis 26/12.
“Saat itu ada sekitar 12 orang yang hilang. Jenazah keluarga saya belum ditemukan,” ujarnya.
“Mengingat tsunami, saya pergi ke kuburan massal Uli Lheu di mana saya merasa… pikiran saya mengatakan orang tua saya ada di sini,” katanya.
Tryansyah mengenang, dirinya dan keluarga berada di rumah pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, seperti kebanyakan keluarga dan korban tsunami Aceh lainnya. Kegembiraan tiba-tiba berubah menjadi kesedihan dalam hitungan menit saat tsunami melanda pukul 07.58 WIB.
Diakuinya, tsunami yang melanda daratan Aceh menyapu dua kali kecepatan kereta berkecepatan tinggi dan mencapai jarak 30 meter. Namun, hanya Tuhan yang mengetahui nasib manusia.
“Mungkin belum waktunya menelepon saya. Tuhan sudah memberi saya kesempatan untuk hidup,” ujarnya.
Ivana, kini berusia 43 tahun, mengalami nasib serupa namun bernasib serupa. Tepat 20 tahun lalu, ia mencoba kembali ke Banda Aceh dari dataran Sumatera Utara dengan menggunakan pesawat.
Namun, dia sempat mengubah jadwal penerbangannya saat itu karena ketinggalan pesawat. Padahal seharusnya ia bersama keluarga di Keudah, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh.
Seharusnya pesawat tiba Minggu pagi pukul 06.00 WIB, sesampainya di Bandara Polonia Medan ternyata ketinggalan. Pesawat sudah berangkat, kata Ivana.
Daerah tempat tinggal keluarga Ivana di Keudah di pesisir pantai Kabupaten Kuta Raja terkena dampak tsunami. Gempa dan tsunami tersebut menyebabkan dua lantai rumah keluarganya dan warga lainnya ambruk ke tanah.
Orang tua dan saudara perempuan Ivana hilang. Sampai sekarang.
“Sejak tsunami berakhir, saya dan keluarga memilih tinggal di Jakarta,” kata Ivana. “Kalau kembali ke sini [ke Aceh] untuk berziarah, hanya boleh ke dua kuburan. Kalau bukan di Uli Leu, ya di Siron, karena jenazahnya belum ditemukan sama sekali.”
Kuburan massal Ule Leu merupakan tempat peristirahatan terakhir lebih dari 14.000 korban tsunami Aceh yang belum teridentifikasi. Pada saat yang sama, lebih dari 46 ribu jenazah dimakamkan di Siron.
Pada tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi berkekuatan 9,1 skala Richter melanda ujung barat Sumatera dan menimbulkan serangkaian gelombang besar di Samudera Hindia, menghantam pesisir 14 negara mulai dari Indonesia hingga Somalia.
Ketinggian gelombang juga mencapai 30 meter dan hampir menghancurkan pemukiman warga, warga, dan wisatawan yang sedang merayakan libur Natal dan akhir pekan.
Tsunami melanda tanpa peringatan tsunami. Namun, meskipun beberapa negara memiliki teknologi ini dan berhasil, waktu untuk menyelamatkan diri sangatlah singkat.
Dilaporkan 226.408 orang tewas akibat tsunami di seluruh negeri. Indonesia adalah negara yang paling parah terkena dampaknya, yang berarti sedikitnya 160 ribu orang meninggal. Saat itu, Aceh belum memiliki sistem peringatan.
(gambar/akhir)