Makassar, CNN Indonesia –
Departemen Propaganda Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar sidang etik maraton terhadap mantan Kapolsek Baito Ipda Muhammad Idris terkait dugaan perekrutan dana perdamaian Rp 50 juta dari seorang guru di SDN 04 Baito Polsek Supriyani. Kasus Penganiayaan Anak Kabupaten Konawe Selatan.
Kasus etik diketahui, Bos Propam Propam Polda Sultra Kombes Pol Moch Sholeh menuntut uang Rp 2 juta dari Supriyani. Menurut Sholeh, dalam sidang etik Ipda Muhammad Idris mengaku uang Rp 2 juta yang diterimanya dari guru Supriyani digunakan untuk membeli semen untuk renovasi ruangan Bareskrim di Baito.
Ipda Muhammad Idris meminta uang Rp2 juta kepada Supriyani untuk menghindari penahanan guru SD saat menangani kasus kekerasan terhadap anak. Aipda Wibowo Hasyim, Kasat Intelkam Polsek Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
“Jadi uang yang diterima dari kepala desa berjumlah 2 juta 12).
Sementara itu, Sholeh mengatakan, perkara terhadap mantan Kapolsek Baito itu masih berjalan dan akan menghadirkan saksi senilai R2 juta.
“Kami sedang konsentrasi menyelidiki Ipda Muhammad Idris sebagai terduga pelaku. Kami sedang menyelidiki semua orang termasuk ibu Supriyani, Aipda Wibowo dan istrinya.”
Dalam persidangan, tuntutan Ipda Muhammad Idris soal dana perdamaian sebesar Rp 50 juta saat polisi menangani kasus penganiayaan anak tidak terbukti.
“Tidak ada [Rs 50 juta], hanya (Rs 2 juta),” tegasnya.
Namun Ipda Muhammad Idris belum ditempatkan pada penugasan khusus (patsus), kata Sholeh. Kelompoknya masih menunggu hasil keputusan kasus etik tersebut.
“Belum. Usai sidang, Fatus menyelesaikan sidang. Apa keputusannya apakah pelanggaran, permintaan maaf atau penurunan pangkat, dan jika terbukti akan diambil keputusan apakah akan disampaikan lebih fatus. Itu saja. Jadi jangan berspekulasi untuk saat ini, kami masih menunggu pemeriksaan Aipda Amiruddin,” ujarnya.
Sebelumnya, Supriyani dituduh melakukan pelecehan terhadap seorang siswa yang merupakan anggota polisi SD Negeri 4 Baito di WITA sekitar pukul 10.00, Rabu (24 April). Tuntutan penganiayaan anak yang diajukan Kejaksaan (JPU) adalah 8 tahun.
Dia ditangkap polisi namun akhirnya dibebaskan dari tahanan setelah kasusnya mendapat perhatian publik. Supriyani kemudian diseret ke pengadilan dan dijerat dengan Pasal 80 yang dibacakan Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Pemerintah yang didakwa melakukan pelanggaran. Pasal 1. Keputusan Penggantian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 dan Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pengacara Supriyani kemudian mengungkapkan bahwa petugas polisi Baito telah meminta uang dan/atau dana perdamaian untuk mencegah penahanan kliennya. Dugaan tersebut kini tengah didalami Propam Polda Sultra.
Sementara itu, Hakim Pengadilan Negeri Anduolo memutuskan guru Supriyani tidak bersalah atas pelecehan anak yang dilakukan polisi.
(saya/anak)