Jakarta, CNN Indonesia –
Sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu pendidikan mengidentifikasi lima tantangan yang harus dihadapi pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dari tiga kantor utama, yaitu Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Menteri Pendidikan Tinggi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan Menteri Kebudayaan.
Koordinator nasional Jaringan Penelitian Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan tantangan pertama adalah tingginya biaya pendidikan dan tidak dapat diaksesnya pendidikan.
Meski undang-undang sekolah menyatakan sekolah gratis, kenyataannya pada Oktober 2024, ada 4,2 juta anak Indonesia yang akan putus sekolah. Banyak di antara mereka yang tertimpa masalah ekonomi.
Berdasarkan catatan dan laporan yang disampaikan ke JPPI pada tahun 2014-2024, Ubaid menjelaskan, banyak alasan mengapa anak tidak atau berhenti bersekolah.
Sekitar 39 persen anak putus sekolah atau bersekolah karena tidak punya uang. Kemudian bekerja mencari uang (18 persen); menikah (11 persen); orang yang melakukan kekerasan (10 persen); pemegang diploma (9 persen); sekolah jarak jauh (6 persen); disabilitas (5 persen); dan lainnya (2 persen).
Tantangan kedua terkait kualitas sekolah yang masih menjadi perhatian. Berkaca pada data Pisa tahun 2015-2022, Ubaid mengatakan, skor Indonesia mengalami peningkatan namun terus menurun (OECD, 2015-2022).
Skor terjadi di semua bidang: membaca, matematika dan sains.
Jika pada tahun 2015 nilainya mencapai 397, maka pada tahun 2022 akan turun menjadi 359. Di bidang matematika, dari 386 menjadi 366. Sementara di bidang sains, dari 403 menjadi 383.
“Jangan berpikir untuk berkompetisi di dunia, hanya di level ASEAN, Indonesia termasuk 3 negara dengan skor terburuk (bersama Filipina dan Kamboja). Pada saat yang sama, Singapura mempunyai nilai tertinggi di dunia,” kata Ubaid.
Ia juga menunjuk pada tren kekerasan yang terjadi secara tiba-tiba di sekolah yang tidak bisa diabaikan. Menurut Ubaid, upaya anti kekerasan dan staf yang bekerja di berbagai daerah belum mampu menghentikan tingkat atau perilaku kekerasan di sekolah.
Berdasarkan penilaian JPPI selama lima tahun terakhir (2020-2024), tren kekerasan di sekolah terus meningkat. Faktanya, setiap hari, cerita kekerasan diberitakan. Bisa terjadi di sekolah, madrasah, pesantren, atau universitas.
Jumlah kekerasan di sekolah sejak Oktober 2024 mencapai 293 kasus. Jumlah ini meningkat signifikan sejak tahun 2020 dengan catatan 91 kasus.
Kekerasan seksual mendominasi sebesar 42 persen, diikuti oleh perundungan (31 persen); kekerasan psikologis (11 persen); kekerasan fisik (10 persen); dan kebijakan kekerasan (6 persen).
Berdasarkan data yang dihimpun JPPI, hingga September 2024, terdapat 293 kasus kekerasan di sekolah. Jika dilihat dari jumlahnya, terdapat tren peningkatan dari tahun ke tahun. ) telah melampaui jumlah kasus pada tahun 2023 yaitu 285 kasus,” kata Ubaid.
“Dari sisi kekerasan seksual, mayoritas korbannya adalah perempuan, mencapai 78 persen. Sementara korbannya hanya laki-laki sebesar 22%, namun jika dilihat dari pelakunya, laki-laki paling banyak yakni 89 persen, dan perempuan 11 persen. .” lanjutnya.
Ubaid mengatakan tantangan keempat adalah pendidikan karakter di sekolah yang masih terus berjalan.
Dalam 10 tahun terakhir, kata dia, belum ada data yang menunjukkan adanya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Tentu saja ada nilai negatif yang perlu mendapat perhatian khusus.
Berdasarkan Survei Penilaian Integritas Pendidikan (SPI) tahun 2023, indeks integritas pendidikan nasional masih berada pada level rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin rendah integritas yang ditunjukkan dalam karakter, lingkungan dan penerimaan.
“Nilai ketuntasan pendidikan mencapai 73,70. Nilai tersebut menunjukkan indeks ketuntasan pendidikan masih berada pada level 2 dari angka tertinggi level 5,” kata Ubaid.
Tantangan terakhir terkait korupsi adalah meluasnya perpajakan ilegal. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 424 kasus korupsi sepanjang tahun 2015 hingga 2023 dengan potensi kerugian negara sebesar Rp916,67 miliar. Semuanya berkaitan dengan persoalan pembelian barang dan jasa di sekolah.
Selain itu, data SPI Pendidikan 2023 juga menunjukkan bahwa 25 persen penduduk sekolah menyatakan mengetahui siswa yang masih diterima akan diterima karena menyumbangkan uang kepada sekolah. Selama PPDB, ditemukan praktik non-pembayaran atau adopsi masih terjadi di lebih dari 44,86 persen sekolah dan lebih dari 57,14 persen perguruan tinggi di Indonesia.
Berdasarkan fakta dan data di atas, Ubaid memberikan beberapa rekomendasi.
Yakni meminta pemerintah menghentikan praktik privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Kemudian, pemerintah akan fokus pada akses dan kualitas pendidikan dasar.
Selain itu, didorong untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru. Poin selanjutnya adalah penguatan LPTK dan perluasan pembinaan guru atau mahasiswa jurusan tarbiyah.
Jangan ragu untuk meminta pemerintah memperkuat langkah-langkah anti-intimidasi dan menjadikan lingkungan sekolah lebih bertanggung jawab.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti mengatakan, Prabowo fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mengajar matematika dianggap sebagai salah satu modal untuk mencapainya.
Dulu (Prabowo) menekankan pentingnya kualitas pendidikan matematika dan bagaimana memperbaiki sistem pendidikan, kata Mu’ti di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (22/10).
Mu’ti mengatakan akan ada kebijakan pelatihan bagi guru matematika. Selain itu, ada opsi untuk meningkatkan pengajaran matematika di kelas dasar (SD) satu hingga empat.
Tak hanya itu, ada juga pilihan untuk mengajarkan matematika sejak usia dini. Mu’ti mengatakan, ada ide untuk mengenalkan matematika kepada siswa TK.
“Hibah diberikan untuk pengajaran matematika di tingkat sekolah dasar, kelas 1-4, dan kemungkinan memperkenalkan matematika kepada anak-anak di tingkat prasekolah,” ujarnya.
Tingkat pendidikan Indonesia tercatat menurun selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi. Hal ini terlihat melalui Program for International Educational Assessment (PISA) yang dikelola oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
Penilaian ini mengukur kemampuan siswa berusia 15 tahun dalam tiga bidang. Salah satunya adalah kemampuan matematika siswa di Indonesia sebesar 386 pada tahun 2015, 379 pada tahun 2018, dan 366 pada tahun 2022. Nilai PISA Indonesia seringkali lebih rendah dari rata-rata dunia. Rata-rata nilai PISA dunia berkisar antara 472 hingga 489. (ryn/isn)