Jakarta, CNN Indonesia —
Adanya pagar laut sepanjang 30,16 kilometer yang membentang di perairan Laut Tangerang di Provinsi Banten sempat membuat heboh. Pagar laut ini masih menjadi misteri karena masih belum diketahui siapa yang membangunnya.
Pagar laut pertama kali diketahui dari laporan warga yang diterima Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Daerah Banten pada Agustus 2024. Pembangunan pagar laut tersebut tidak berizin atau ilegal.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan pemanfaatan ruang laut tanpa izin dasar untuk kegiatan pemanfaatan ruang laut (KKPRL) merupakan pelanggaran.
Sekretaris Jenderal Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang dan Kelautan (DJPKRL), Kusdiantoro mengatakan, pagar laut tersebut mengindikasikan adanya upaya perolehan hak atas tanah di perairan laut yang salah.
Tindakan tersebut dapat memberikan kendali penuh kepada pemegang hak, menolak akses publik, melakukan privatisasi, merusak keanekaragaman hayati dan berpotensi menimbulkan perubahan fungsi ruang laut.
Paradigma hukum pemanfaatan ruang maritim diubah menjadi sistem perizinan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK): 3/PUU-VIII/2010. Tujuannya agar ruang maritim tetap menjadi milik bersama yang adil dan terbuka bagi semua,” kata Kusdiantoro, Rabu (7 Januari) dalam acara debat di Jakarta.
Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Humas dan Komunikasi Publik Doni Ismanto mengatakan, pemagaran wilayah laut merupakan tindakan melanggar aturan –apalagi jika dilakukan tanpa izin– karena mengganggu akses masyarakat. . , privatisasi, penghancuran keanekaragaman hayati dan perubahan fungsi ruang laut.
Doni merujuk pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Lalu bagaimana aturan pemanfaatan ruang laut, seperti membangun pagar laut?
Salah satu langkah penting yang diambil pemerintah Indonesia adalah menjadikan Kepatuhan Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) sebagai syarat dasar penerbitan izin usaha kegiatan yang dilakukan di laut, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa persyaratan izin usaha berbasis risiko meliputi kesesuaian kegiatan penggunaan lokasi, izin lingkungan, izin mendirikan bangunan, dan sertifikat yang sah. sesuai dalam hal tindakan.
Pemanfaatan ruang perairan pesisir harus dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rencana tata ruang zona. Setiap orang yang memanfaatkan ruang laut wajib menaati kegiatan pemerintah pusat mengenai pemanfaatan ruang laut.
Dalam memastikan kesesuaiannya untuk kegiatan pemanfaatan ruang maritim, perlindungan ekosistem perairan pesisir, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional dan hak lintas damai bagi kapal asing harus diperhatikan.
Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 28 Tahun 2021, KKPRL mewakili konsistensi antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang laut dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi.
KPPRL diberikan melalui izin kegiatan usaha dan persetujuan atau pengukuhan untuk kegiatan bukan usaha Melanggar asas keadilan
Ketua Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI) Rasman Manafi menegaskan, pagar laut bertentangan dengan prinsip keadilan dalam pengelolaan ruang laut.
Ia menyerukan kontrol yang lebih besar untuk mencegah privatisasi wilayah laut dan memastikan partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya.
Penilaian ini diamini oleh Ketua HAPPI, Direktur Penelitian Sumber Daya Kelautan, Ditjen PSDKP KKP, Sumono Darwinto, yang mengatakan pelanggaran serupa ternyata banyak terjadi di banyak wilayah yang tidak memiliki KKPRL.
“Pelanggar bisa dikenakan sanksi administratif seperti denda dan pembongkaran,” ujarnya.
Sementara itu, Plt. Direktur Penataan Ruang Laut Suharyanto menekankan pentingnya pengawasan untuk mencegah privatisasi ruang laut. Ia mengatakan, penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di wilayah laut bertentangan dengan UUD 1945 karena mengancam hak masyarakat adat.
Terkait pagar di perairan Laut Tangerang, dia menjelaskan Kementerian Kelautan dan Perikanan telah melakukan penyelidikan sejak September 2024, termasuk analisis peta citra satelit dan catatan geotagging selama 30 tahun terakhir.
“Hasilnya, kawasan tersebut tidak pernah berada di darat dan merupakan sedimen, bukan pengerukan,” ujarnya.
(ryn/DAL)