Jakarta, CNN Indonesia —
Indonesia terus mengoptimalkan sumber daya alamnya melalui program industri hilir pertambangan. Pada tahun 2024, dengan fokus pada produk tembaga, bauksit, dan pasir silika, program ini telah memberikan dampak signifikan terhadap penciptaan ekonomi bernilai tambah.
Penyusutan merupakan prasyarat bagi sektor industri proses untuk mendukung visi Indonesia Emas 2045 apabila diselesaikan dan diselesaikan sesuai dengan rencana investasi yang telah disusun.
Industri pertambangan, khususnya hilir pasir tembaga, bauksit, dan silika, pada awalnya didorong oleh ekstraksi cairan tembaga dan bauksit serta pengembangan produk berbahan dasar pasir silika.
Hal ini terungkap dalam penelitian bertajuk “Studi Dampak Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Industri Hilir Tambang: Tembaga, Bauksit dan Pasir Silika” yang dilakukan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI).
Sementara itu, kondisi yang cukup bagi sektor industri pengolahan untuk mendukung suksesnya Indonesia Emas 2045 adalah pemanfaatan produk hasil proses smelter yang harus diolah kembali sebagai masukan dalam pengembangan produk yang mempunyai nilai tambah lebih. . produk akhir dalam negeri,” kata Wakil Ketua Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (PEBS FEB UI) Nur Kholis dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/1).
Noor Kholis mengatakan Indonesia sendiri tidak bisa mengekspor bahan mentah karena devaluasi. Produk bernilai tambah seperti katoda tembaga, alumina, produk berbasis pasir silika seperti kaca dan keramik, serta panel surya dan semikonduktor masa depan kini diproduksi di dalam negeri.
Menurut Noor Kholis, hal ini merupakan langkah strategis untuk memperkuat struktur dunia usaha nasional dan membuka peluang ekonomi baru.
“Kita tidak bisa mengandalkan ekspor bahan mentah dari luar negeri dan impor barang setengah jadi. Depresiasi adalah jalan menuju kemandirian ekonomi kita,” ujarnya.
“Dengan meningkatkan investasi untuk menghasilkan produk yang bernilai tambah di dalam negeri, kita menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan memastikan sumber daya alam kita benar-benar berkelanjutan meningkat untuk negara,” ujarnya.
Nur Kholis menjelaskan, dampak hilirisasi tembaga, bauksit, dan pasir silika mulai terasa di banyak daerah, seperti Kabupaten Grecian (Jawa Timur), Kabupaten Mempawah (Kalimantan Barat), dan Kabupaten Batang (Jawa Tengah).
Dimana pembangunan smelter ini nantinya akan menjadi penggerak perekonomian masyarakat setempat. Selain meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan pendapatan daerah, kebijakan ini juga menciptakan ribuan lapangan kerja secara langsung dan tidak langsung.
“Kami juga menemukan selain pendapatan negara, pendapatan daerah provinsi dan masing-masing kabupaten/kota juga mengalami peningkatan melalui dana bagi hasil (DBH) dan pendapatan pokok daerah (PAD),” ujarnya.
Misalnya, kata dia, pajak kendaraan bermotor, pajak balik nama kendaraan, dan pajak penerangan jalan di daerah hilir menunjukkan tren peningkatan yang signifikan.
“Pendapatan daerah ini dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur publik yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat,” kata Noor Kholis, ketua gugus tugas penelitian.
Namun, pergerakan hilir juga menghadapi tantangan seperti terbatasnya infrastruktur dan teknologi, terbatasnya tenaga kerja terampil, fluktuasi pasar, dan dampak negatif terhadap lingkungan.
Noor Kholis mengatakan, pemerintah perlu mengambil beberapa langkah strategis untuk mengatasi tantangan tersebut.
Misalnya saja pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan teknologi, pemanfaatan teknologi ramah lingkungan, diversifikasi produksi, dan penguatan kerja sama internasional.
“Industri hilir pertambangan, khususnya tembaga, bauksit, dan pasir silika juga harus didorong untuk menerapkan teknologi ramah lingkungan di seluruh fasilitas pengolahan mineral. Pengelolaan limbah yang efektif harus menjadi bagian integral dari implementasi hilir,” ujarnya. (inci/inci)