
Jakarta, CNN Indonesia —
Pemerintah Indonesia terus menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga 12% efektif 1 Januari 2025.
Pasalnya, kenaikan tersebut diamanatkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Insentif sebesar Rp265,6 triliun juga diberikan untuk meredam tangisan masyarakat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani bersatu untuk menenangkan masyarakat yang cemas. Kedua pria tersebut mengatakan barang-barang kebutuhan pokok seperti daging, telur, ikan dan susu akan dibebaskan dari pajak yang besar.
Sri Mulyani dalam konferensi pers yang digelar di Departemen Koordinasi Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16), mengatakan, “Oleh karena itu, pemerintah akan mengeluarkan biaya yang diperkirakan mencapai Rp 265,6 triliun agar masyarakat bisa membeli barang yang dibutuhkannya tanpa perlu membayar. membayar PPN.” jelasnya. /12).
Pelayanan pendidikan, kesehatan, keuangan, tenaga kerja, asuransi dan air juga dibebaskan dari PPN sebesar 12%.
Namun tepung terigu, gula industri, dan minyak masih dikenakan pajak, dan kenaikan sebesar 1% ditanggung oleh pemerintah.
Pemerintah telah meluncurkan banyak rencana stimulus ekonomi. Contoh lainnya adalah insentif pembebasan pajak penghasilan (PPh) sebesar Rp144,7 triliun dan pembebasan pajak lainnya sebesar Rp35,2 triliun.
“Jadi kalau kita lihat tahun depan bebas pajak Rp 265,6 triliun saja, itu peningkatan yang cukup besar dibandingkan dua tahun atau bahkan lima tahun ke belakang. Berbagai program pemerintah dalam situasi ini sebenarnya semuanya kalangan. Senang,” kata Sri Mulyani.
Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Lembaga Pajak Pratama-Kreston (PK-TRI), menjelaskan konsep yang dihadirkan adalah pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP). Transaksi barang dan jasa masih akan dikenakan PPN pada tahun depan, namun dana yang dibayarkan akan dipotong dari belanja negara departemen pajak.
Menurut dia, insentif tersebut termasuk dalam kebijakan belanja tidak langsung pemerintah. Apabila paket stimulus ini dirasa kurang, pemerintah sebenarnya bisa menambah program lain berupa kebijakan belanja pemerintah langsung.
Bentuknya berupa bantuan langsung tunai atau bantuan lain yang sejenis kepada masyarakat terdampak, kata Prianto kepada fun-eastern.com.
Skema PPN DTP diyakini akan memberikan akses lebih besar kepada masyarakat terhadap uang. Hal ini terjadi karena uang yang seharusnya dibelanjakan untuk pajak dapat digunakan untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri.
Prianto mengatakan kebijakan tersebut diharapkan dapat mengurangi dampak kenaikan PPN yang akan diturunkan dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Namun, dia memperingatkan dua industri besar akan merasakan bahayanya.
Pertama, industri real estate diperkirakan akan sangat terpengaruh oleh kenaikan pajak ini. Kedua, industri otomotif juga kemungkinan akan terpukul keras tahun depan.
“Secara umum pembeli pada kedua industri ini adalah konsumen akhir. Oleh karena itu merekalah yang menjadi pemikul PPN,” tegasnya.
Prianto mengingatkan, “Ketika daya beli masyarakat menurun, kedua industri (real estate dan otomotif) akan terkena dampak langsung karena penjualan akan turun. Mungkin ada efek domino pada ekosistem kedua industri ini, dampaknya akan semakin luas.”
Ia kemudian mencontohkan secara sederhana dan menghitung dampak kenaikan PPN hingga 12% bagi masyarakat. Prianto mencontohkan pembelian barang yang masih dikenakan pajak.
Misalnya seseorang bernama Badu mempunyai uang Rp 1 juta. Dia ingin membeli produk seharga Rp 100.000 per buah.
1. Jika tarif PPN tetap sebesar 11%, Badu dapat membeli 9 unit produk tersebut.
(Rp 100.000 + Rp 11.000) X 9 unit = Rp 999.000
Badu masih punya uang kembalian Rp 1.000.
2. Sementara itu, ketika PPN naik menjadi 12%, Badu hanya bisa membeli 8 unit produk target.
(Rp 100.000 + Rp 12.000) X 8 unit = Rp 896.000
Dia mempunyai sisa Rs 104.000 tetapi dia tidak dapat menggunakannya untuk membeli unit lain senilai Rs 112.000 termasuk PPN 12%.
Lanjutkan di halaman berikutnya…