
Jakarta, CNN Indonesia –
Pemerintah memiliki ambisi untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia pada tahun 2032. Bahkan, ini bukan cita -cita baru.
Selama beberapa dekade, impian membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di kedua arah. Namun, rencana ini diperkuat pada akhir era Presiden Djoko Widodo (Jokowi).
Jokowi telah menunjuk Luhut Binsar Pandjaitan dan menjadi Ketua Organisasi Implementasi untuk Program Energi Nuklir/Nepio.
Rencana ini berlanjut di masa Presiden Prabowo. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan persiapan untuk PLTN akan dimulai dan beroperasi pada tahun 2032.
“Tahap pengembangan infrastruktur PLTN saat ini sebenarnya adalah tahap pertama, yaitu keputusan,” kata Direktur Jenderal Departemen Energi Baru, Pembaruan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Konservasi Energi Sumber Daya Mineral, yang terletak di ruang pertemuan Komite Perwakilan XII, Selasa, 18/2);
Enya mengatakan fase pertama ini diputuskan berdasarkan pedoman Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Untuk melanjutkan, Indonesia perlu mengubah beberapa aturan. Salah satunya adalah menyiapkan peraturan mengenai pembentukan organisasi yang mengimplementasikan Program Energi Nuklir (NEPIO).
Pemerintah berencana untuk membangun reaktor dengan kapasitas 250 mW. Reaktor adalah jenis reaktor modular kecil atau SMR (reaktor modular volume kecil).
Pengamat Energi Universitas Pajajaran mengatakan Yayan Satyakti telah membuktikan bahwa nukleus dapat membawa energi murah. PLTN menggunakan uranium, yang dapat menua hingga usia 40 tahun. Dalam hal biaya, pembangkit listrik tenaga nuklir dapat mengurangi biaya energi hingga 50% dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU).
Namun, Yayan sebenarnya menyoroti aspek -aspek keamanan PLTN. Dia mengatakan ada risiko serius jika pembangkit listrik tenaga nuklir tidak dioperasikan dengan tata kelola yang baik.
“Jangan meninggalkan acara seperti Chernobyl. Itu sebabnya dia mengungkapkan itu. Ada busuk dari sudut pandang bahan bakar reaktor yang seharusnya menggunakan standar yang baik seperti negara -negara barat, jadi dia bahkan menggunakan grafit, bahkan murah.”
Dia takut bahwa Indonesia tidak siap untuk mengeksploitasi PLTN karena masalah tata kelola yang konstan. Yayan khawatir korupsi sehingga laporan otak menyebabkan kecelakaan di PLTN dan menyebabkan bahaya.
Selain itu, masalah dengan pembangkit listrik tenaga nuklir adalah pengelolaan limbah nuklir. Limbah tidak bisa dilemparkan ke alam liar. Perlu penyimpanan yang baik dan banyak uang. Dia kemudian mengingatkan saya pada kebocoran reaktor di Fukushima, Jepang pada 2011 karena gempa bumi dan tsunami. Indonesia bisa merasakan ancaman yang sama. Karena itu adalah keadaan negara yang menonjol.
“Jepang memiliki sistem protokol terbaik di dunia, tetapi jika ada gempa bumi, ada kebutuhan untuk redaman risiko. Redaman risiko ini hanya dapat dilakukan dengan berpikir bahwa itu murah,” katanya.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), tidak setuju dengan rencana pengembangan PLTN. Pembangkit listrik tenaga nuklir cenderung mahal karena Indonesia tidak memiliki teknologi dan sumber daya energi.
Dia menjelaskan bahwa Indonesia harus mengimpor reaktor nuklir karena tidak dapat menghasilkan SMR. Selain itu, operator PLTN tentu saja warga negara lain. Ini karena bakat lokal tidak memiliki pengetahuan.
“Menurut pendapat saya, jika pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir terus bergantung pada negara yang melakukannya, kami sepenuhnya bergantung pada hal itu,” kata Faby.
Dia mengatakan masih banyak sumber daya energi yang dapat digunakan Indonesia. Indonesia memiliki potensi hingga 3.686 GW energi terbarukan.
Berdasarkan survei ISR baru -baru ini, 632 proyek energi terbarukan memiliki 333 GW, memungkinkannya secara finansial. Rincian termasuk kapasitas PLT yang dipasang di tanah 165,9 GW, PLTB 167,0 GW, dan 0,7 GW PLTM.
Fabby mengatakan pembangkit listrik energi dan energi juga dapat dibangun dengan cepat. Tidak seperti PLTN, yang membutuhkan waktu untuk bekerja.
“Ada potensi 333 GW di Indonesia. Ini hanya mencakup pembangkit listrik tenaga surya, angin dan hidroelektrik yang secara teknis terlihat dan usang secara ekonomi. Ini berarti bahwa listrik yang dihasilkan relatif terjangkau,” katanya.
(PTA)