Jakarta, CNN Indonesia –
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil (Gemas) pimpinan Justili Soeharto mengirimkan surat berisi petisi ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan meminta agar penguasa Orde Baru (Orba) Soeharto tidak diberi gelar Orde Baru. pahlawan nasional. .
Surat tersebut dikirimkan melalui Sekretariat MPR, di kompleks parlemen, Senin sore (11/04). Lebih lanjut, Gemas juga meminta MPR mengkaji ulang penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11/1998 terkait penyelenggaraan pemerintahan mandiri KKN.
“Hari ini kami mengirimkan surat dan diterima oleh Sekretariat Jenderal MPR RI. Mulai tanggal ini kami memberikan surat dukungan dan menyalurkan aspirasi agar gelar pahlawan bagi Soeharto tidak diberikan oleh Negara,” kata koalisi. diwakili oleh KontraS, Dimas Ieng, Arya.
Menurut Dimas, rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sebaiknya dikaji sesuai UU Proklamasi Pengabdian dan Kehormatan. Menurut dia, pemberian gelar kehormatan atau pahlawan harus memenuhi beberapa syarat.
Syarat-syarat tersebut antara lain harus dilandasi rasa keadilan, kemanusiaan, dan persatuan. Intinya, kata dia, gelar tersebut harus diberikan kepada seseorang yang berintegritas.
Kita melihat sederet fakta dan juga sederet kejahatan yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun kepemimpinannya, mulai dari pelanggaran HAM berat, pelanggaran HAM dan juga kekerasan negara, praktik korupsi, kolusi, nepotisme, kejahatan pembunuhan, kejahatan lingkungan hidup. .dan kejahatan pertanian,” katanya. Ketidaktaatan massal
Namun, Ketua Yayasan Investigasi Korban Pembunuhan 1965 Bedjo Untung mewaspadai potensi pemberontakan massal jika Soeharto diberi gelar pahlawan nasional.
Menurut Untung, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto setara dengan mengembalikan negara ke masa Orde Baru. Menurutnya, hal itu akan merugikan para korban kejahatan Soeharto.
“Saya mungkin khawatir akan terjadi pembangkangan umum dan apatisme di pihak masyarakat dan saya katakan jika ini terjadi, berarti negara itu ilegal, yang tidak kami akui,” ujarnya.
Bedjo Untung mengatakan awal mula keruntuhan Indonesia dimulai saat Soeharto berkuasa. Apalagi kekuasaannya terbukti diraih dan disengaja untuk menggulingkan Soeharto.
“Sekarang sudah terungkap, ini juga merupakan bentuk yang disebut novum karena CIA, agen rahasia Amerika dan Inggris, serta Jerman dan Australia telah mengakui bahwa tragedi 1965 direkayasa untuk menggulingkan Pak Karno.” dikatakan.
Sebelum September lalu, Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyebut pimpinan MPR mendukung Presiden ke-2 RI Soeharto dan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendapat gelar pahlawan nasional. .
Informasi itu disampaikan Bamsoet usai Rapat Paripurna Akhir Periode 2019-2024 di Kompleks DPRD, Jakarta, Rabu (25/9).
Menurutnya, tidak boleh ada warga negara Indonesia, apalagi pemimpin negara, yang dihukum tanpa proses hukum yang adil. MPR, kata Bamsoet, harus mengedepankan persatuan bangsa.
Keluhan sejarah tidak perlu diajarkan kepada anak bangsa yang tidak pernah mengenal dan terlibat banyak peristiwa kelam di masa lalu, kata politikus Golkar itu.
Rinciannya, Soeharto dan rezim Orde Baru yang bertahan lebih dari tiga dekade digulingkan oleh gerakan reformis pada tahun 1998. Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun, mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998.
Pasca runtuhnya Orde Baru, MPR mengeluarkan TAP MPR yang menekankan penyelenggaraan negara yang bersih, bebas korupsi dan korupsi.
Kemudian, pada Maret 2000, Jaksa Penuntut Umum menetapkan Soeharto sebagai tersangka kasus korupsi melalui tujuh yayasan. Kemudian, pada bulan Agustus, ia dilimpahkan ke pengadilan, namun upaya untuk membawa penguasa Orde Baru ke pengadilan selalu gagal. Terakhir, pada tahun 2006, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan pemerintah tidak akan melanjutkan perkara mantan Presiden Soeharto ke pengadilan yang terhenti karena alasan kesehatan.
Pada tanggal 11 Mei 2006, Jaksa Penuntut Umum mengeluarkan surat keputusan penutupan kantor kejaksaan Soeharto karena perkara tersebut ditutup demi hukum, hal ini disebabkan karena Soeharto terus mengalami gangguan kesehatan sehingga tidak dapat melanjutkan persidangan.
(Tr/Anak)