Jakarta, CNN Indonesia —
Konferensi iklim tahunan COP29 di Baku, Azerbaijan, diperpanjang karena proposal pendanaan iklim dari negara-negara maju dianggap terlalu rendah.
Setelah penantian selama dua minggu, negara-negara berkembang telah menerima proposal anggaran perubahan iklim tahunan sebesar $250 miliar dari negara-negara maju yang harus dibayarkan hingga tahun 2035.
Namun penilaian tersebut tidak diterima oleh peserta konferensi. Oleh karena itu, COP29 sebaiknya dilanjutkan setelah agenda akhir konferensi.
Proposal tersebut merupakan tanggapan atas permintaan negara-negara berkembang untuk meningkatkan target pendanaan proyek iklim sebesar $1,3 triliun. Tujuannya adalah untuk memungkinkan negara-negara berkembang melaksanakan proyek-proyek besar untuk mencegah kenaikan suhu global di atas 1,5 derajat Celcius.
Rancangan federasi tersebut, yang dirilis oleh kepresidenan COP29 pada Jumat malam (22/11), menyebutkan dana sebesar USD 250 miliar akan “berasal dari berbagai sumber” dan dapat mencakup negara-negara berkembang itu sendiri. Perwakilan negara-negara maju mengecam usulan ini.
“Ini bukan keseimbangan antara ambisi dan kinerja, tapi terlalu jauh. Tidak mencerminkan perlunya membangun infrastruktur transisi dan hal-hal lain terkait adaptasi iklim,” kata Sekretaris Jenderal Indonesia, CEO PPI KLHK Laxmi Dwanti.
Rombongan delegasi Indonesia berencana mempelajari rancangan undang-undang yang ada saat ini agar dapat memberikan masukan kepada kelompok negara berkembang G77.
Blok Negara Pulau Kecil (AOSIS) juga mengecam RUU peredaran tersebut.
“Ini seperti menanyakan ‘sejauh mana Anda bisa melangkah?’” mengenai ambisi iklim dunia. Ini tidak dapat diterima. Ancaman krisis iklim,” demikian pernyataan resmi AOSIS.
Sekretaris COP29 mengumumkan akan diadakan sidang lagi (pleno) untuk mendengarkan pandangan para peserta pada Sabtu (23/11) pukul 10.00 waktu setempat. Contoh perpanjangan COP telah terjadi beberapa kali, antara lain di Madrid (44 jam) dan Dubai (23 jam).
Laporan ini ditulis oleh Devi Safitri, meliput COP29 dari Baku, Azerbaijan, bekerja sama dengan EJN dan Pusat Perdamaian dan Keamanan Stanley.
(dsf/dmi)