Jakarta, CNN Indonesia —
Presiden Prabowo Subianto telah menunjuk Natalius Pigai sebagai Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) di Kabinet Merah Putih.
Pigai resmi dilantik pada Senin (21/10) di Istana Negara Jakarta bersama para menteri lainnya. Ia menjabat sebagai Komisioner Komnas HAM.
Nama Pigai dikenal sebagai sosok penting dalam perjuangan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak masyarakat Papua.
Latar belakang pendidikan Pigai dimulai di Sekolah Tinggi Pengembangan Masyarakat Pedesaan (STPMD) APMD, Yogyakarta, dimana beliau memperoleh gelar Bachelor of Science in Government (S.I.P.). Sejak masa kuliahnya, Pigai aktif dalam serikat mahasiswa dan menjadi bagian dari perjuangan revolusi 1995-1999.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Pigai melanjutkan studi matematika di Universitas Indonesia pada tahun 2003 dan mempelajari studi kepemimpinan di Institut Administrasi Negara pada tahun 2010-2011.
Pria kelahiran 25 Desember 1975 ini memulai karirnya sebagai pejabat khusus di Kementerian Tenaga Kerja dan Imigrasi pada tahun 1999 hingga 2004. Selama ini, ia bekerja sebagai moderator diskusi antar saluran televisi yang membahas masalah politik dan pemerintahan. .
Sejak tahun 2006 hingga 2008, Pigai menjabat sebagai penasehat Wakil Direktur BRR Aceh-Nias dan pernah menjadi tim pendukung Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri.
Sebagai putra Papua, Pigai dikenal sangat aktif memperjuangkan hak-hak masyarakat marginal. Ia pernah menjadi peneliti di Graha Budaya, Indonesia-Jepang, dan staf Sindelaras Foundation, sebuah organisasi yang fokus pada pengembangan kearifan adat dan hak-hak petani.
Selain itu, Pigai juga aktif terlibat di Yayasan Sejati, sebuah LSM yang fokus pada hak-hak masyarakat marginal seperti Papua, Dayak, Sasak dan Aceh.
Namun Pigai dikenal kiprahnya di dunia hak asasi manusia saat menjabat sebagai anggota Komnas HAM pada 2012-2017. Dalam posisinya tersebut, Pigai banyak berbicara tentang keadilan, khususnya bagi masyarakat Papua.
Memperjuangkan keadilan sosial dan menegakkan hak-hak dasar masyarakat Papua telah mengabaikan persoalan yang lebih umum.
(arn/fra)