Jakarta, CNN Indonesia —
Menjelang akhir tahun 2024, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI berhasil menurunkan proporsi kredit bermasalah (NPL) menjadi 2,90 persen sehingga turut meningkatkan kualitas pengelolaan aset.
Direktur Utama BIS Sunarso mengatakan secara triwulanan jumlah kredit yang diturunkan peringkatnya menjadi “kurang lancar” dan “non-performing” mengalami penurunan sekitar Rp 750 miliar. Menurut dia, ada beberapa cara yang dilakukan BIS untuk menurunkan tingkat kredit macet dan mengurangi portofolio kredit.
“Itu di bagian depan dulu. Bagian pemasaran kami fokus pada pertumbuhan kredit lebih lanjut, namun selektif, dan kami memperketat kriteria penerimaan risiko serta proses underwriting dengan menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang lebih ketat,” ujarnya, Selasa (5/11).
Di bagian tengah, portofolio kredit yang sudah ada di neraca BIS dipersiapkan untuk menjaga kualitas kredit, yakni dengan memperkuat pengawasan dan meningkatkan risk awareness.
Selain itu, BIS juga secara berkala melakukan stress test untuk mengetahui arah fluktuasi portofolio pinjamannya. Sementara itu, restrukturisasi akan dilakukan dengan latar belakang portofolio kredit bermasalah yang tidak dapat diselesaikan.
“Kalau tidak bisa dipertahankan, malah turun terus, apa yang terjadi? Back end yang bekerja. Lalu kita lakukan restrukturisasi, kalaupun perlu kita lakukan restrukturisasi awal,” kata Sunarso.
Apabila pinjaman yang direstrukturisasi masih gagal bayar, BIS akan mempercepat proses pemulihannya. Sunarso menjelaskan, model bisnisnya di segmen mikro.
“Jadi di depan harus agresif mencari kargo, lalu kargonya disortir, itu yang bisa dijaga kesehatannya dan itu tugas yang tengah. Tapi nanti kalau yang tidak sehat dilempar ke belakang, ke belakang dan ke belakang. Biasanya kita restrukturisasi, kalau masih ada harapan dan kalau tidak bisa berbuat apa-apa, kita batalkan, jelas Sunarso.
Dia menambahkan, penghapusan atau penghapusan piutang tak tertagih memang telah dilakukan, namun pemulihan masih terus berjalan. Sunarso mengatakan, hasil pengumpulan tersebut merupakan hasil pemulihan.
“Karena uang kita sebenarnya kita bukukan dan kita tarik. Jadi itu dalam bentuk recovery income. Jadi ini model bisnis yang perlu dipahami semua pemangku kepentingan,” pungkas Sunarso. (jahat/tertawa)