Jakarta, CNN Indonesia —
DPR telah memilih lima calon pimpinan baru dan anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK periode 2024-2029 melalui Komisi III.
Komjen Pol Setyo Budiyanto (Irjen Pol/Kementerian Pertanian), Johanis Tanak (Komisaris KPK saat ini), Fitroh Rohcahyanto (Jaksa, dahulu KPK) terpilih menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) . Direktur Komite Pemakzulan), Agus Joko Pramono (mantan Wakil Ketua Komite Pemberantasan Korupsi) dan Ibnu Basuki Widodo (Hakim Pengadilan Tinggi Manado).
DPR kemudian memilih Setjo sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru. Setjo memperoleh suara terbanyak dengan perolehan 45 suara sehingga terpilih menjadi Ketua KPK periode berikutnya.
Sementara itu, Chisca Mirawati (pendiri dan mitra pengelola UU CMKP), Benny Mamoto (mantan Ketua Harian Kompolna), Visnu Baroto (jaksa), Sumpeno (Hakim MA Jakarta) dan Gusrizal (Ketua) dipilih menjadi anggota Devas KPK oleh DPR. . Mahkamah Agung Samarinda).
Namun sejumlah elemen masyarakat sipil dan akademisi pesimistis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa memberantas korupsi secara mandiri setelah diawaki oleh pimpinan “aparat penegak hukum dari lembaga lain”.
Koalisi masyarakat sipil bentukan Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) di Transparency International Indonesia (TII) menuding 2024-2029 Pimpinan KPK bersyarat. Menurut mereka, skrining dan tes yang tepat dan tepat hanya sekedar basa-basi.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi III DPR Habiborokhman membantahnya dan menyatakan bahwa masyarakat dapat melihat bahwa proses penyaringan yang benar dan baik dilakukan secara demokratis, terbuka mulai dari sesi wawancara hingga pemungutan suara, dari pagi hingga malam.
Politisi Gerindra itu mengatakan, seluruh anggota Komisi III DPR bisa leluasa menggunakan hak berbicara dan memilih. Katanya, buktinya banyak anggota yang menanyakan pertanyaan spesifik. Ia juga mengatakan, DPR membuka peluang bagi masyarakat untuk berkontribusi sejak awal. Namun, ia mencatat tidak ada perwakilan koalisi masyarakat yang memberikan masukan.
Selain itu, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat UGM) UGM, Zaenur Rohman, secara tidak langsung menilai DPR ingin menguasai KPK dengan menggunakan tangan aparat penegak hukum dari lembaga lain untuk mengambil alih kepemimpinan KPK. Alasannya, kata dia, struktur pimpinan KPK penuh dengan aparat kepolisian, jaksa, hakim, bahkan auditor.
Menurut dia, KPK dijadikan sebagai “sekretariat bersama” aparat penegak hukum. Dia menilai, kondisi tersebut akan berdampak pada hilangnya independensi KPK karena tunduk pada kewenangan lembaga penegak hukum lainnya.
“Saya tidak melihat dengan konfigurasi pimpinan KPK ini, KPK akan kembali menjadi lembaga negara yang bisa independen. Dengan konfigurasi lima orang ini, KPK akan semakin tunduk pada kekuasaan,” kata Zaenur. menghubungi fun-eastern.com pada Kamis (21/11).
Akibat konfigurasi tersebut, Zaenur pesimistis pimpinan baru KPK akan menangani kasus korupsi yang berasal dari lembaga asalnya. Meski lembaga induknya tidak lepas dari korupsi, baik itu kejaksaan, kepolisian, Mahkamah Agung, dan BPK.
“Saya pesimistis korupsi peradilan dan penegakan hukum bisa diberantas dalam lima tahun ke depan karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didominasi oleh unsur pejabat yang berpikiran hukum,” ujarnya.
Tak berhenti sampai disitu, Zaenur menyebut sistem kepemimpinan KPK ini bisa menimbulkan loyalitas ganda. Di satu sisi, mereka berasal dari institusi kepolisian yang mempunyai ‘esprit de corps’. Menurutnya, esprit de corps tidak bisa hilang, bahkan bagi mereka yang sudah pensiun.
Di sisi lain, Zaenur menegaskan, pimpinan KPK yang baru juga harus loyal kepada lembaga antikorupsi. Kondisi ini menjadi tantangan serius, karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harusnya merupakan lembaga independen yang tidak berada di bawah lembaga manapun.
“Saya berharap ke depan KPK tidak bisa mandiri, KPK masih dipengaruhi oleh kekuasaan, misalnya dalam kaitannya dengan otoritas hukum, dalam kaitannya dengan politisi, dalam kaitannya dengan kekuasaan,” katanya. dikatakan. Zaenur.
Baginya, kondisi tersebut bisa berdampak negatif terhadap pemberantasan korupsi, “Pemberantasan korupsi bisa saja terjadi, hal-hal akan terus ada, namun hal-hal tersebut tidak strategis, tidak diterapkan sembarangan.”
Baca halaman berikutnya