
Jakarta, CNN Indonesia —
Pemerintah Republik Indonesia dan Republik Demokratik Indonesia berencana menerapkan amnesti lagi bagi pelaku kejahatan perpajakan.
Rencana tersebut merupakan hasil rapat Panitia Kerja Rencana Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2025 DPR RI yang digelar pada Senin (18/11) dan dihadiri sejumlah lembaga pemerintah.
Hasil pertemuan; pemerintah dan Partai Demokrat sepakat untuk memasukkan Prolinas tentang perubahan Undang-Undang Pembebasan Pajak Nomor 11 Tahun 2016 ke dalam daftar rancangan usulan RUU prioritas tahun 2025.
Misbah Khan, Ketua Komite ke-11 Republik Demokratik Rakyat Korea, mengakui rencana tersebut merupakan inisiatif wakil rakyat.
“Nanti kita diskusikan dengan pemerintah industri mana saja yang dikecualikan pajaknya, industri mana saja yang dilindungi pembebasan pajak, dan industri mana saja yang ditanggung.”
Misbah Khan menjelaskan: “Pada saat yang sama, kita juga harus memberikan kesempatan dan memberikan proses atas kesalahan masa lalu. Jangan sampai masyarakat mengelak pajak, tapi tidak ada cara untuk memaafkan. Jadi pengampunan ini adalah salah satu caranya.”
Jika rencana tersebut berhasil, maka ini akan menjadi rencana ketiga yang dilakukan pemerintah dan Republik Demokratik dalam sembilan tahun terakhir.
Sebelumnya, mereka telah menerapkan pembebasan pajak tahap pertama pada tahun 2016-2017. Saat itu, pemerintah mengaku hanya memberikan amnesti untuk mengungkap aset wajib pajak yang tidak diumumkan.
Skema bebas pajak pertama ini diikuti 956.793 wajib pajak dengan aset terekspos senilai Rp4.854,63 triliun. Pengungkapan aset tersebut menyebabkan pemerintah merugi Rp114,02 triliun atau 69% dari target Rp165 triliun.
Namun, pemerintah kembali menerapkan skema pengungkapan sukarela (PPS) untuk periode 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022. Wajib Pajak yang mengikuti PPS ini berjumlah 247.918 orang dengan total harta yang diungkapkan sebesar Rp594,82 triliun. Pajak penghasilan (PPh) yang dipungut pemerintah mencapai Rp 60,01 triliun.
Lantas, apakah tindak pidana penggelapan pajak bisa dimaafkan?
Priyanto Bodhi Sapton, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian Pajak Pratama-Kreston (PK-TRI), mengatakan ada dua tanggapan terhadap rencana kontroversial tersebut. Pertama, pemerintah memang perlu menerapkan pembebasan pajak jilid III.
Kepada fun-eastern.com, ia menjelaskan, “Kalau jawabannya ‘perlu’, maka pandangannya bergantung pada dua upaya pemerintah. Yang pertama terkait dengan wajib pajak atau tax evader dan upaya penggelapan pajak.” (19/11) .
“Untuk upaya kedua ini, pemerintah ingin meningkatkan penerimaan pajak dan menaikkan tarif pajak,” lanjut Printo.
Sedangkan jawaban kedua adalah tidak perlunya memaafkan. Hal ini terkait dengan prinsip keadilan sosial.
Dia menegaskan, selama ini wajib pajak sudah mematuhi aturan tarif pajak normal. Namun, sebagian wajib pajak yang tidak patuh justru mendapat karpet merah dari pemerintah berupa amnesti.
“Dengan adanya pembebasan pajak, mereka membayar pajak dengan tarif yang lebih rendah. Dengan kata lain, pemerintah memberikan pajak yang tidak adil kepada wajib pajak yang patuh dan wajib pajak yang tidak patuh,” kata Printo.
Lanjutnya, “Kondisi seperti itu mungkin merugikan wajib pajak yang patuh. Mereka mungkin berpikir ‘lebih baik tidak patuh karena akan menduplikasi pembebasan pajak’.”
Printo mengatakan program pembebasan pajak bisa menjadi langkah arah yang tepat untuk meningkatkan penerimaan pajak. Alasannya, fiskus tidak perlu bersusah payah menegakkan peraturan perpajakan, baik berupa sanksi administratif maupun pidana.
Pengecualian pajak berarti otoritas pajak hanya menggelar karpet merah untuk menyambut mereka yang bersalah. Terakhir, melaporkan aset yang tidak kena pajak dapat mengakibatkan biaya tambahan yang dibayarkan kepada pemerintah.
Ditegaskannya, “Dari segi rasa keadilan, penerapan tax amnesty jilid 3 kurang tepat karena akan menambah jumlah wajib pajak yang tidak patuh terhadap peraturan. perlakuan tidak adil dari pemerintah.”
“Pemberian pembebasan pajak dengan nama dan bentuk yang berbeda akan mengabaikan rasa keadilan. Bagi pemerintah, suatu kebijakan harus didasarkan pada pertimbangan rasional,” Printo mengingatkan.
Sementara itu, pengamat pajak Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajri Akbar heran dengan rencana pembebasan pajak gulungan III. Dia menggambarkan langkah tersebut sebagai tindakan yang tiba-tiba dan sama sekali tidak masuk akal.
Fajri menegaskan masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Dia mengatakan, masyarakat tidak mungkin percaya bahwa pembebasan pajak itu benar-benar bersifat final.
Terakhir, masyarakat Indonesia meyakini masih akan ada amnesti pajak di masa depan.
“Kalau wajib pajak berpikir akan ada amnesti pajak, otomatis dia akan berpikir, ‘Ini tidak bisa diterima, apa? Nanti akan ada amnesti pajak,’ dan itu pada akhirnya akan membuat masyarakat patah semangat. ketidakpercayaan kepada pemerintah, karena tidak sesuai dengan apa yang disampaikannya,” kritik Fajri.
Ia pun mempertanyakan siapa yang menjadi sasaran pengecualian ini. Menurut dia, banyak perusahaan yang sudah masuk pembebasan pajak pertama dan selebihnya sudah masuk PPS 2022.
Fujari menegaskan, akan menjadi kemunduran jika pemerintah dan DPR RI mengecualikan pajak ketiga.
Selain itu, pemerintah juga berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai pada tahun depan (2025). Saya yakin masyarakat pasti akan marah. Ini benar-benar politik yang tidak rasional!
“Oleh karena itu, program amnesti pajak bagian ketiga harus dibatalkan. Risiko politiknya sangat besar dan mungkin berdampak negatif pada kepatuhan. Masyarakat bisa kembali turun ke jalan,” Faghiri memperingatkan.