Jakarta, CNN Indonesia —
Kabbaya secara resmi merupakan salah satu Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Namun Indonesia bukan satu-satunya negara yang menawarkan kabaya.
Dengan demikian, kabbaya bukan hanya milik Indonesia. Sejumlah negara Asia juga berhak memiliki kabbaya sebagai warisan budaya.
Menurut situs resmi UNESCO, kabbaya diperkenalkan oleh Indonesia bersama negara-negara Asia lainnya seperti Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Kami berharap penunjukan kabbaya oleh UNESCO dapat meningkatkan kesadaran global akan pentingnya melestarikan warisan budaya takbenda, karena kabbaya bukan hanya simbol budaya, tetapi elemen pemersatu yang melampaui suku, agama, dan negara,” kata Menkeu. Zona kekayaan budaya. , Rabu (4/12).
Pemaparan kabaya sebagai warisan budaya multinasional dilakukan pada tahun 2022. Saat itu, pemerintah Indonesia sepakat untuk mengusulkan Kabaya sebagai warisan budaya bersama empat negara lainnya.
Ada banyak teori tentang asal usul kabaya. Mengutip laman SeAsia, ada yang meyakini kabbaya berasal dari Tiongkok.
Faktanya, kabaya tidak mewakili satu negara saja. Hampir semua orang sepakat bahwa kabbaya merupakan pakaian tradisional yang dikenal di seluruh Asia Tenggara, bahkan Asia.
Perjalanan kabaya sungguh melampaui batas geografis dan temporal. Kebaya diyakini pertama kali muncul pada abad ke-15 pada masa Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur. Pakaian ini berkembang karena pengaruh budaya asing dan dinamika sosial nusantara, sehingga menjadi simbol adaptasi budaya yang kaya. Asal usul kabaya
Kata “kabaya” diyakini berasal dari kata Arab “kaaba” yang berarti “pakaian”. Diksi ini kemudian diadaptasi melalui Portugal sebagai “cabaya”.
Pada masa awalnya, kabbaya dikenakan oleh bangsawan dan bangsawan sebelum akhirnya menyebar ke masyarakat umum pada abad ke-17.
Pengaruh budaya Tionghoa dan Islam juga membentuk desain kabaya, khususnya dari segi bahan dan teknik pemakaian.
Kebaya kemudian diadopsi oleh kerajaan-kerajaan di seluruh Indonesia seperti Aceh, Riau dan Johor. Hubungan dagang dengan negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand mempercepat penyebaran kabbaya.
Kabbaya juga dikaitkan dengan pakaian wanita Dinasti Ming, yang bercirikan lengan panjang dan terbuka. Hal ini memperkuat pengaruh Tiongkok dalam pengembangan kabbaya.
Pada masa penjajahan Belanda, kabbaya menjadi pakaian formal wanita Eropa di Indonesia. Desain kabaya dipercantik dengan penggunaan kain sutra, bordir dan warna yang lebih kaya. Perubahan ini menjadikan kabbaya sebagai simbol status sosial dan gaya hidup elegan.
Di komunitas Tionghoa Peranakan di Melaka, Penang, Singapura dan Indonesia, kabaya telah berkembang menjadi fermentasi kabaya. Blus kabaya ini sering kali dihiasi dengan sulaman bertema flora dan fauna serta dipadukan dengan sarung batik bermotif cerah.
Kabaya ini melambangkan perpaduan budaya Malaysia, Cina, dan Eropa, terutama dalam penggunaan aksesoris seperti sandal, kukuk, dan ikat pinggang berwarna perak. (tst/asr)