JAKARTA, CNN Indonesia —
Pengadilan Niaga (PN) Semarang memutuskan PT Sri Rejeki Isman (Sritex) pailit. Keputusan pailit ini diambil setelah Pengadilan Niaga (PN) Semarang menerima permohonan kreditur perusahaan tekstil tersebut.
PT Indo Bharat Rayon, salah satu kreditur PT Sritex, telah mengajukan permohonan pembatalan perjanjian damai terkait kesepakatan penundaan kewajiban pembayaran utang hingga tahun 2022.
Sritex pun mengajukan banding atas putusan pailit ke Pengadilan Negeri Semarang Niaga. GM HRD Sritex Group Haryo Ngadiyono mengatakan, operasional perseroan tetap berjalan hingga saat ini meski ada keputusan pailit.
“Hari ini kami mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung,” kata Detik Jateng seperti dikutip di Menara Visaya Sekretariat Daerah Sukoharjo, Jumat (25/10).
Dalam permintaan pemrosesannya, Shretex menjelaskan bahwa karyawannya masih bekerja dan manajemen tidak mengambil tindakan untuk memberhentikan mereka.
“Kalau kondisi ini bisa diatasi melalui jalur hukum (kebangkrutan), kita tidak akan melakukan PHK besar-besaran. Karena bukan perusahaan bangkrut (Sritex), sepertiga perusahaan tersebut masih beroperasi dalam keadaan bangkrut. “Partai sebenarnya sedang berupaya menyelesaikan masalah tersebut,” ujarnya.
Lalu apa akibatnya bagi perusahaan yang dinyatakan pailit?
Kepailitan diatur dalam UU No. 2004. 37, Kepailitan dan Penundaan Utang, disingkat UUK 2004.
Menurut pasal 1 ayat (1) UU UUK Tahun 2004, kepailitan adalah perampasan seluruh harta kekayaan debitur yang pailit, yang diurus dan diselesaikan oleh wali di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Akibat pernyataan pailit, kemampuan debitur bangkrut seperti Shritex untuk mengelola asetnya semakin dibatasi. Pasalnya, setelah dinyatakan pailit, pengadilan mengalihkan hak pengelolaan dan pelepasan kekayaan perseroan kepada wali amanat.
“Menurut undang-undang, sejak tanggal diumumkannya putusan pernyataan pailit, debitur kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit,” Pasal 24 (25/10) UUK 2004, dikutip Jumat. ).
“Wali Amanat berwenang melakukan pengurusan dan/atau penyelesaian harta kekayaan yang bersifat pailit sejak tanggal diterbitkannya putusan pailit, meskipun putusan pailit tersebut telah diajukan untuk dibatalkan atau peninjauan kembali,” bunyi Pasal 16 Perpres tersebut.
Seorang debitur pailit hanya dapat melakukan upaya hukum terhadap hartanya apabila tindakan itu akan memberikan manfaat menambah harta pailit. Artinya manajemen hanya dapat mengambil tindakan bisnis yang menguntungkan perusahaan.
Dalam hal perkara yang dianggap merugikan kreditur atau yang mengurangi harta orang yang pailit, maka wali amanat dapat meminta pencabutan perbuatan yang dilakukan debitur pailit.
Selain itu, untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan harta pailit, maka debitur atau perseroan yang pailit wajib berkonsultasi dengan wali amanat mengenai tindakan-tindakan usaha yang harus diambil sebelum menjalankan usahanya.
Oleh karena itu, dengan keputusan pailit ini, Sritex kehilangan kendali dan pengelolaan atas aset yang disita dan dikelola oleh wali amanat. Suatu perusahaan hanya dapat mengelola asetnya dengan meningkatkan asetnya. Shritex harus melapor terlebih dahulu kepada wali sebelum dapat mengelola asetnya.
(fby/pta)