Jakarta, CNN Indonesia.
Nama Yati Pesek naik daun setelah ia menjadi bahan ejekan akibat pernyataan kontroversial da’i Miftah Maulana Habiburrahman.
Dalam video yang viral, Miftah melontarkan komentar yang menghina Yati Pesek.
“Saya bersyukur Bude Yati jelek dan memilih menjadi sinden. Kalau dia ganteng, dia pecundang,” kata Miftah.
Pernyataan tersebut menuai kecaman keras dari berbagai kalangan, apalagi dianggap tidak menghormati artis senior seperti Yati Pesek.
Sebelum mengejek Yati Pesek dengan istilah “jalang”, Miftah sempat menyebut kata “bajingan”.
Lantas, siapa dan bagaimana kiprah Yati Pesek di industri hiburan dan seni budaya tanah air?
Nama asli Yati Pesek adalah Suyati di Yogyakarta pada tanggal 8 Agustus 1952. Yati tumbuh di keluarga seniman. Ayahnya Sudhito adalah seorang seniman dan ibunya Sujeela adalah seorang penari.
Sejak kecil Yati sudah mengenal dunia seni khususnya tari yang dipelajarinya langsung dari ibunya, serta dari guru tari ternama seperti R.M. Joko Daulat dan Basuki Koeswaraga.
Karir profesional Yati dimulai pada tahun 1964 saat ia bergabung dengan komunitas Wayang Orang Jati Mula di Kebumen. Selanjutnya ia aktif berpindah-pindah dari satu bentuk kesenian ke kesenian lainnya, antara lain Pancha Murti, Dharma Mudha, dan Sari Budaiah.
Menurut sumber umum, tahun 1969 merupakan momen besar bagi Yati ketika bergabung dengan grup Ketoprak Mudha Rahayu Yogyakarta.
Nama Yati mulai dikenal saat Handung Kussudiarsana mempekerjakannya untuk program Sandiwar Jenak KR di TVRI Yogyakarta pada tahun 1980. Peristiwa tersebut menjadi salah satu tonggak awal popularitasnya, apalagi saat ia tampil bersama Marvoto dan Daryadi di Trio Jenaka KR.
Popularitasnya terus meningkat hingga menarik perhatian sutradara ternama seperti Arifin K. Noer yang mengajaknya membintangi film Serangan Fajar (1982), dan Slamet Rahardjo yang menggarap film Langitku Rumahku (1984). . .
Artis multitalenta
Pengalaman Yati Pesek di dunia seni pertunjukan tidak hanya terbatas pada teater atau film. Ia juga dikenal sebagai salah satu pelawak wanita yang berhasil menyita perhatian di berbagai acara kesenian termasuk pertunjukan wayang kulit.
Suatu hari, dalang legendaris Ki Manteb Sudarsono mengundangnya untuk tampil secara spontan di Taman Ismail Marzuki, sehingga menimbulkan tren baru adanya “bintang tamu” dalam pertunjukan wayang kulit.
Yati juga tampil di berbagai acara televisi, antara lain sinetron Siprus Anak Dalang (1984) dan acara Ketoprak Plesetan bersama Marvoto dan Daryadi. Ketiganya dikenal sebagai “Trio Plesetan” yang berhasil menciptakan hiburan seru dengan gaya uniknya masing-masing.
Yati Pesek menjadi ikon seni tradisional yang berjasa besar dalam pelestarian budaya Jawa. Dengan dedikasi yang ditunjukkannya selama lebih dari lima dekade, Yati Pesek menjadi simbol semangat pantang menyerah para seniman muda, terutama di tengah dinamika dunia seni rupa yang terus berubah.
Seorang penghibur serba bisa, Yati Pesek telah meninggalkan jejak tak terlupakan dalam seni pertunjukan, mulai dari panggung Wayang Orang hingga layar kaca. Kontroversi seputar namanya saat ini menjadi pengingat penting akan pentingnya menghormati seniman senior dan kontribusinya terhadap budaya Indonesia. (tes/pta)