Jakarta, CNN Indonesia –
Pernyataan bersama antara Indonesia dan China akibat kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing baru-baru ini kembali menarik perhatian.
Anggota DPR RI ramai mengklarifikasi pernyataan tersebut saat Menteri Luar Negeri Sugiono menggelar rapat kerja dengan Komisi I di Kompleks Parlemen, Senin (2/12).
Sejumlah anggota Komisi I menyampaikan keprihatinannya terhadap posisi dan kedaulatan negara Indonesia. Sugiono menegaskan posisi Indonesia tidak berubah dan pemerintah tidak mengakui klaim 9 garis putus-putus China.
Meski Indonesia berulang kali menegaskan sikapnya, sejumlah pengamat khawatir langkah tersebut dapat mengancam kepentingan nasional Indonesia.
Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Wafaa Kharisma mengatakan pernyataan bersama tersebut berpotensi merugikan Indonesia dalam jangka panjang.
Bagi saya, gabungan kalimat tersebut merupakan bentuk kelonggaran yang diberikan Indonesia kepada China, kata Wafaa saat dihubungi fun-eastern.com, Selasa (3/12).
Salah satu poin yang disoroti dalam pernyataan bersama tersebut adalah poin ke-9.
Pada titik ini, dikatakan bahwa kedua belah pihak telah mencapai pemahaman penting mengenai pembangunan bersama di bidang-bidang yang sesuai dengan klaim mereka.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, juga mengkritik pernyataan bersama tersebut.
“Apa maksudnya tumpang tindih klaim klaim garis sepuluh lubang China terkait dengan klaim Indonesia atas zona ekonomi eksklusif di Natuna Utara?” kata Hikmahanto pada pertengahan November lalu.
Ia kemudian mengatakan, “Jika hal ini benar, berarti kebijakan Indonesia mengenai klaim sepihak Tiongkok atas Sepuluh [Sembilan] Garis Putus-putus telah berubah secara signifikan.”
Tiongkok mengklaim sebagian besar wilayah di perairan LCS. Mereka pun membuat sembilan garis putus-putus dan hingga saat ini Indonesia belum menerimanya.
Wafa menilai jika pernyataan bersama tersebut diikuti dalam konteks kerja sama dan dikemas secara jelas sebagai kerja sama ekonomi, maka akan memperkuat klaim Tiongkok.
“Ini akan memperkuat klaim sepihak Tiongkok dan memberikan kesan bahwa kami menolak karena Tiongkok adalah negara besar,” ujarnya.
Waffaa kemudian menyarankan, jika Indonesia ingin membuat pernyataan tersebut terlihat netral atau sebaliknya, sebaiknya pemerintah mengajak negara-negara besar lainnya untuk ikut serta dalam pembangunan di Laut Natuna Utara.
Dalam rapat kerja dengan Komisi I, Menlu RI menyampaikan bahwa Indonesia telah menginformasikan kepada negara-negara di kawasan tentang pembangunan bersama. Menurut dia, tidak ada masalah dengan negara-negara yang terlibat.
Namun, Waffaa mencatat akan ada potensi negatif bagi Indonesia jika kemitraan terus berlanjut.
Yang mirisnya, Pak Prabowo masih menganggap ini ide yang bagus, sehingga ide itu tetap dilanjutkan. Nanti, kita akan terlihat lebih memberi imbalan pada klaim-klaim ilegal, ujarnya.
Jika hal ini terus berlanjut dan hanya bekerja sama dengan negara-negara besar seperti Tiongkok tanpa kerja sama dengan negara lain, maka akan berdampak juga pada hubungan Indonesia dan ASEAN.
Indonesia, kata WAFAA, dianggap tidak lagi menghormati UNCLOS dan hukum internasional. RI juga sudah kehilangan daya tawar untuk membahas persoalan Laut Cina Selatan jika menyangkut Negeri Tirai Bambu.
Indonesia selalu berkomitmen untuk mematuhi PBB. Konvensi hukum maritim dan peraturan internasional. RI juga merupakan negara yang diperhitungkan di ASEAN.
Artinya kalau negara lain memperjuangkan kepentingan Laut Cina Selatan, tidak bisa lewat Indonesia, itu milik Indonesia, kata Wafaa.
Lanjutkan ke halaman berikutnya >>>