Semarang, CNN Indonesia —
Jelang Pilkada Serentak 2024, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah (Jateng) mengeluarkan surat berisi fatwa pemilihan calon kepala daerah oleh umat Islam yang seagama.
Fatwa tersebut menimbulkan protes dari berbagai pihak, hingga akhirnya MUI Jawa Tengah mencabut fatwa tersebut dan meminta masyarakat tidak mempermasalahkannya lagi.
“Kami minta mundur dan tidak perlu dimintai keterangan,” kata Ketua MUI Jawa Tengah KH Ahmad Darodji di kantor Badan Amal Zakat Nasional (Basnas) Jawa Tengah di Semarang, Senin (25/11).
Darodji menjelaskan, MUI Jateng tidak pernah mengeluarkan fatwa tentang kepala daerah dan hanya merespons fatwa MUI Pusat saja.
“Tawsia tidak melakukan [penelitian untuk mengeluarkan fatwanya sendiri], Tausia berencana hadir tapi kita batalkan dan tidak jadi karena pusat sudah punya [seperti fatwa]. Jadi itulah ‘guiahi segoro’ [berlayar di laut] mungkin tidak perlu karena “fatwa MUI sudah ada,” jelas Darodji.
“Kita tidak lagi memberikan fatwa, mungkin ada gunanya kalau [MUI] Jawa Tengah tidak mengeluarkan fatwa seperti yang dikeluarkan saat itu. Saya minta [surat fatwa MUI Jawa Tengah] lakukan. karena itu nguyahi segoro, itu sudah menjadi “alasan kami diusir dari tempat itu. Ya saya minta dihapus saja,” imbuhnya.
Sebelumnya telah beredar foto atau tangkapan layar fatwa MUI Jawa Tengah pada 23 November 2024 yang mengacu pada Tausia Nasional MUI (Pusat) tentang Pilkada Serentak 2024 Nomor: Kep-74/DP-MUI/XI/2024. Berdasarkan Focus Group Discussion (FGD) MUI Jawa Tengah tentang Fatwa yang digelar di Pondok Pesantren Fadlul Fadlan Semarang, ada beberapa hal yang disampaikannya:
1. Memberikan suara dalam pemilu adalah hak yang sah. Begitu pula dengan menggunakan hak memilih berdasarkan agama, ras, dan kesukaan kelompok. 2. Umat Islam hendaknya memilih pemimpin yang dapat dipercaya, dapat diandalkan, jujur, dapat dipercaya dan memperjuangkan kepentingan dan prinsip Islam.3. Haram memilih pemimpin yang berbeda agama atau lupa untuk tidak memilih calon yang seagama.
Fatwa MUI Jawa Tengah yang beredar di kalangan warga menuai protes dari berbagai kalangan.
KH Shodiq Hamzah, Pengasuh Pondok Pesantren Ashodiqiyya Semarang, mengaku malu dengan hasil fatwa MUI yang melarang masyarakat memilih pemimpin yang berbeda keyakinan.
“Sebagai umat Islam kita malu, tapi jika pemimpin Muslim menunjukkan masalah dan korupsi sebagai pemimpin, dia lebih malu dibandingkan pemimpin non-Muslim,” ujarnya, The Sun Minggu (24/11).
Kiai Shodiq menjelaskan, jika pemimpin Muslim korup dan non-Muslim tidak bisa menjalankan negara, maka terserah pada rakyat untuk memilihnya.
“Pemimpin Islam sedang terpuruk dan korupsi merajalela. Tapi non-Muslim bisa membangun negara, efisien dan tidak tahu korupsi, jadi pilih yang mana?” , jelas Kiai Shodik.
Kiai Shodiq meminta masyarakat membedakan antara beriman dan tidak beriman. Dia mencontohkan mantan Ketua PBNU Abdurahman Wahidin (Gus Dur) yang juga presiden keempat Indonesia yang pernah meramalkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan menjadi Gubernur DKI. Ahok kalah dari Anees Baswedan pada Pilgub DKI 2017 yang dipengaruhi faktor SARA seperti agama.
“Jadi di sini kita tidak bisa memisahkan agama.
Kiai Shodiq mengatakan Indonesia berdasarkan Pancasila sehingga tidak boleh ada fatwa atau pendapat agama dalam pemilu politik.
“Nah, karena kita negara pancasila, maka kita harus membedakan antara agama dan agama, jadi mau tidak mau umat Islam memilihnya, silahkan, tapi jangan membuat fatwa-fatwa yang menjadikannya haram. Indonesia bukan negara agama, tapi negara pancasila. , “katanya.
Hal senada juga diungkapkan KH Taslim Zahlan, Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama Seluruh Indonesia (FKUB), dengan menyebut surat fatwa MUI Jawa Tengah akan memecah belah masyarakat.
“Di antara kita, semua orang beriman dan tidak beriman mempunyai hak yang sama dalam pemilukada ini. Di negara ini, kita tidak boleh saling menindas, baik itu fatwa, tawsiya, atau apapun yang menghina kita,” kata Taslim. Minggu (25/11) doa bersama di Pura Tanah Putih Semarang.
“Jual murah menjelang pilkada seperti ini, jadi kita semua sepakat bahwa laki-laki dan perempuan punya hak untuk dipilih dan dipilih, jadi bantulah negara ini dengan baik, khususnya di Jawa Tengah dan khususnya di Semarang, itu sudah sangat menguntungkan. “Jangan coba-coba membaginya dengan fatwa atau tausiya murahan, dalam bentuk apapun fatwa itu datang,” imbuhnya.
Organisasi Setara juga mengkritik surat fatwa MUI Jawa Tengah yang menyatakan bahwa umat Islam harus memilih pemimpin yang dapat diandalkan, amanah, jujur, adil dan memperjuangkan kepentingan dakwah Islam.
Fatwa tersebut bersifat diskriminatif dan tidak adil terhadap hukum negara. Pasal 28d ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demikian pesan Setara yang diterima, Minggu.
Fatwa dan fatwa serupa ini membawa perubahan di Indonesia. Organisasi Setara memandang pilkada dan perayaan pemilu adalah wahana nasionalisme dan berujung pada pemilihan pemimpin masyarakat, tambahnya. (DMR/Anak)