Jakarta, CNN Indonesia —
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengajukan pengajuan tertulis sebagai amicus curiae dalam kasus pidana mantan karyawan PT Hive Five milik John LBF, Septia Dwi Pertiwi.
Direktur LBH Jakarta Fadil Alfatan menilai kasus ini tidak perlu diadili. Sebab, terdapat sejumlah kesalahan dalam proses pidana mulai dari proses penyidikan hingga persidangan.
Kata Fadil melalui keterangan tertulis, Selasa (17/12).
Menurut Fadhil, Septia merupakan korban kejahatan ekspresi pribadi yang sebenarnya ditularkan secara hukum di ranah digital.
Fadhil memuji pendapat Septia di akun Twitternya (Pernyataan Septia kini disebut-sebut dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum di bidang hak asasi manusia baik secara nasional maupun internasional.
“Rancangan surat dakwaan Kejaksaan dalam perkara ini mengandung kesalahan berat, terutama dalam penggunaan unsur pidana/penghinaan/pencemaran nama baik dan/atau pencemaran nama baik yang seharusnya menempatkan individu sebagai korban,” ujarnya.
Dalam berbagai ketentuan dan ajarannya, Fadil menjelaskan bahwa korban penghinaan/pencemaran nama baik dan/atau fitnah haruslah individu yang unik, bukan lembaga, perusahaan, profesi atau jabatan.
Tindak pidana tersebut tidak dapat dituntut terhadap Septia karena jaksa menerima korban, Henry Kurnia Adhi alias John LBF, pada posisi/jabatan komisaris PT Hive Five.
Terlebih, pernyataan Septia di akun Twitter pribadinya dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi yang dihadapinya sebagai korban karyawan yang melanggar aturan. Pernyataan tersebut tidak lebih dari bentuk perlindungan diri dan kepentingan masyarakat terhadap praktik korporasi yang melanggar hak-hak pekerja.
Oleh karena itu, menurut berbagai ketentuan dan doktrin, Septia tidak dapat dipidana. Selain itu, keterangannya juga tidak menunjukkan niat untuk melakukan dugaan tindak pidana tersebut, kata Fadil.
Selain itu, LBH Jakarta menyoroti persoalan relasi kekuasaan yang timpang antara Septia dan John LBF. Apalagi John LBF merupakan publik figur yang status sosial ekonominya secara umum bisa dikatakan lebih tinggi dibandingkan Septius.
Oleh karena itu, dengan tujuan untuk mengaburkan hubungan kekuasaan tersebut dan demi kepentingan peradilan yang adil, majelis hakim mempertimbangkan dan meninjau perkara yang ada yang terikat untuk diadili berdasarkan PERMA Nomor 3 Tahun 2017, kata Fadhil.
“Kami mohon kepada majelis hakim yang telah mempertimbangkan dan mengadili perkara ini untuk membatalkan putusan Pak Septius. Hal ini untuk menghindari peradilan ilegal dan penting bagi lembaga peradilan untuk menegaskan kembali posisinya sebagai basis terakhir bagi mereka yang mencari keadilan. “, dia menekankan.
Sebelumnya, pada 11 Desember 2024, dalam persidangan atas permohonan jaksa, Ny. Septia divonis 1 tahun penjara dan denda 50 juta rupiah ditambah 3 bulan penjara. Sebab, dia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Berdasarkan Pasal 27 Pasal (3) UU ITE.
(rin/DAL)