Jakarta, CNN Indonesia —
Penembakan yang menewaskan Gamma Rizkynata Oktafandi (17), siswi SMK di Semarang, menjadi batu loncatan penguatan Polri.
Dalam kasus ini, Aipda Robig Zaenudin, anggota Satuan Narkoba Polrestabes Semarang, diberhentikan oleh institusi dan ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Dia menembak Gamma dan dua siswa lainnya pada 24 November 2024.
Sering terjadi penembakan oleh petugas polisi. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur mengatakan Polri harus melakukan penilaian menyeluruh.
Menurut Isnur, permasalahan utama di Polri adalah budaya kekerasan dan arogansi.
“Budayanya kekerasan, budayanya budaya kebanggaan, budayanya polisi merasa juara, apa saja bisa tanpa pikir panjang,” kata Isnur, Selasa (10/12) kepada fun-eastern.com.
Menurut Isnur, permasalahan ini bersifat sistemik. Sebab permasalahan serupa juga terjadi di daerah lain.
Ia mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan berpendapat bahwa aparat kepolisian harus mengetahui peran dan tanggung jawabnya dalam masyarakat.
Selain itu, ada Peraturan Kapolri (Percap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Penerapan Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia serta Peraturan Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
“Tidak terjadi, tidak terjadi, kita sebenarnya melihat polisi bisa melakukan penuntutan, polisi menjadi orang yang menyamar, banyak melakukan kejahatan seperti ini. Ini sangat berbahaya,” kata Isnur.
Karena itu, Isnur meminta Presiden Prabowo Subianto mengevaluasi Polri dan kewenangannya. Jadi ada masalah dengan kewenangan polisi yang berlebihan. Dan penting untuk menilai kewenangannya, ujarnya.
Senada, Bambang Rukminto, Pengamat Polisi di Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), mengatakan penembakan itu menjadi batu loncatan untuk memperkuat Polri.
Menurutnya, hingga saat ini Polri belum pernah melakukan perbaikan besar-besaran. Memang kasus yang melibatkan aparat Polri pernah terjadi dari waktu ke waktu.
“Polisi tidak pernah melakukan perbaikan signifikan dalam perilaku pegawai, penyidikan, transparansi, maupun komunikasi dalam penanganan perkara yang melibatkan pegawainya,” kata Bambang saat dihubungi.
Namun, Bambang mengatakan, institusi Polri tidak bisa sendirian, melainkan harus ada keterlibatan pemerintah untuk serius membenahi Polri.
“Solusinya tidak lagi bergantung pada institusi Polri itu sendiri, tapi pemerintah harus ada untuk memperbaiki Polri. Dan untuk itu diperlukan kemauan politik dari presiden sebagai kepala negara,” demikian penilaian Kapolda Semarang. .
Terkait hal itu, Bambang juga mengatakan Kapolres Semarang Kompol Irwan Anwar perlu diberi penghargaan khusus. Menurutnya, persoalan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan meminta maaf.
Selain itu, di awal persidangan, Irwan mengatakan, penembakan terjadi saat RobIG hendak melerai perkelahian. Bahkan, petugas Irwan mengklaim korban adalah seorang “preman” atau tawuran.
Namun pernyataan berbeda disampaikan Kepala Propam Polda Jateng Kompol Aris Supriyono dalam rapat Komisi III DRC. Menurutnya, penembakan yang dilakukan RobIG tidak ada kaitannya dengan kejadian yang menimbulkan perkelahian.
Menurutnya, saat itu RobIG ditangkap di dalam mobil Gamma dan lainnya. RobIG kemudian dengan sengaja menunggu mereka berbalik dan menembak.
“Ini (Penilaian Kapolres Semarang) harus dilaksanakan. Kalau ingin konsisten menjalankan peraturannya sendiri yaitu Perkap Nomor 2 Tahun 2022 tentang Waskat (Pengelolaan Alam). Pemimpin tingkat 2 ke atas harus bertanggung jawab. Harus dikenakan sanksi dan sanksi. tidak akan berakhir dengan permintaan maaf,” kata Bambang.
Menurut Isnur, seharusnya Mabes Polri sejak awal turun tangan untuk mencopot Irwan dari jabatan Kapolres Semarang.
Pasalnya, pernyataan Irvan soal pertarungan tersebut justru menyulitkan dan seolah ingin menyembunyikan kebenaran yang terjadi di lapangan.
Seharusnya Ditjen Polri di Tanah Air turun tangan sejak awal dan segera memecatnya serta memecat Kapolri karena dialah yang memperburuk kasus ini, ujarnya.
Isnur juga menyoroti lemahnya tata kelola Polri. Selama ini pengendalian eksternal hanya dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
“Ya tentu saja kita tidak punya sistem pengawasan yang baik dan kuat. Kompolnas tidak punya kontrol yang cukup kuat,” kata Isnur.
Isnur menunjuk kehadiran Pimpinan KPK sebagai pengelola operasional KPK. Menurut Isnur, Polri seharusnya memiliki lembaga pengawas serupa yang memantau pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian.
“Sekarang Dewas (KPK) di Kompolnas tidak ada, dia bisa mendengar, menyelidiki dan membatalkan, misalnya ada penyidikan di Propam, dia bisa menyelidiki lagi, itu bisa terjadi. dihapus. Selama ini Kompolnas menjadi alat untuk membenarkan kesalahan polisi,” ujarnya.
Bambang pun mengamini bahwa peran Kompolnas perlu ditingkatkan untuk mengawasi aktivitas kepolisian. Sebab, kata dia, selama ini Kompolnas hanya menjalankan fungsi “lembaga simbolis”.
“Peran Kompolnas dan struktur serta susunannya saat ini lebih dari sekedar lembaga simbolis atau cara untuk melegitimasi politik Polri,” ujarnya. (dis/tsa)