Jakarta, CNN Indonesia —
Presiden Iran Masoud Pezeshkian menyatakan keraguannya terhadap undang-undang (RUU) baru yang menghukum perempuan yang melanggar peraturan wajib berhijab di negaranya.
AFP melaporkan, Pezeshkian mengatakan kepada televisi pemerintah pada Senin malam (12 Februari, waktu setempat): “Sebagai orang yang bertanggung jawab untuk mengesahkan undang-undang ini, saya memiliki banyak kekhawatiran tentang RUU ini.”
Ia mengatakan, hal ini karena jika RUU tersebut diterapkan pada perempuan di Iran, maka akan berdampak serius bagi masyarakat. “Karena undang-undang ini, kita berisiko merugikan banyak hal dalam masyarakat kita,” lanjut Pezeshkian.
RUU yang mewajibkan penggunaan jilbab telah disahkan oleh Parlemen Iran. Namun, RUU tersebut masih memerlukan tanda tangan Presiden Pezechikian agar bisa berlaku. Sesuai jadwal, Pak Pezeshikian akan menandatangani RUU tersebut pada 13 Desember.
RUU yang mewajibkan penggunaan hijab sebenarnya telah disahkan oleh parlemen Iran pada September 2023. Berdasarkan peraturan baru, perempuan yang melanggar aturan berpakaian bisa menghadapi hukuman hingga 10 tahun penjara.
RUU tersebut juga menetapkan denda sebesar 20 kali gaji bulanan bagi perempuan yang salah mengenakan jilbab atau tidak mengenakan jilbab sama sekali.
Denda juga harus dibayar dalam waktu 10 hari. Jika tidak, perempuan yang melanggar peraturan wajib berhijab akan dilarang bepergian, menggunakan transportasi umum, dan mengajukan SIM.
Kantor berita IRNA melaporkan, RUU bertajuk “Mendukung Budaya Hijab dan Kesucian” itu disetujui dengan masa uji coba tiga tahun.
Sejak revolusi tahun 1979, perempuan di negara tersebut diwajibkan menutupi rambut mereka dengan jilbab di depan umum.
Namun, seiring berjalannya waktu, semakin banyak perempuan Iran yang tidak berhijab.
Fenomena ini semakin meluas sejak perempuan Iran memprotes kematian Martha Amini yang meninggal dalam tahanan pada September 2022.
Saat itu, Amini ditangkap polisi Iran karena diduga melanggar dress code.
(Gas/DNA)