Jakarta, Indonesia —
Korea Utara dikatakan telah menghukum berat pasangan yang bercerai dengan mengirim mereka ke kamp kerja paksa.
Salah satu pasangan Korea Utara mengatakan mereka dikirim ke kamp kerja paksa selama satu hingga enam bulan untuk “membayar kejahatan mereka.”
Korea Utara menganggap perceraian sebagai tindakan anti-sosialisme dan secara umum bersikap keras dalam melestarikan Konfusianisme di negaranya.
“Saya ke Pengadilan Rakyat Daerah Kimjongsuk, 12 orang mendapat surat cerai,” kata salah satu warga Ryanggang seperti dikutip Radio Free Asia, Selasa (18/12).
Kemudian dia berkata: “Segera setelah hukuman dijatuhkan, mereka dipindahkan ke kantor kamp pelatihan.”
Perda tersebut akan berlaku mulai Desember 2024.
“Mulai bulan ini, seluruh pasangan yang bercerai akan dikirim ke kamp pelatihan,” ujarnya.
Dia juga mengatakan bahwa dia akan menanggung hukumannya. Kakak perempuannya mengajukan gugatan cerai setelah tiga tahun menikah.
Perempuan dikirim ke kamp selama enam bulan, dan laki-laki hanya satu bulan.
Kisah tentang pajak kamp
Salah satu perempuan, yang bercerai dan menjalani hukuman tiga bulan di kamp pajak, mengatakan sumber mengatakan perempuan menerima hukuman yang lebih berat dibandingkan laki-laki.
Sumber tersebut mengatakan sekitar 80 perempuan dan 40 laki-laki bekerja di kamp penjara di provinsi Pyongan Selatan.
“Ada sekitar 30 pria dan wanita di penjara dengan keputusan perceraian, dan sudah ada perempuan,” kata sumber tersebut.
Ia membenarkan, perceraian sering terjadi pada usia 30 dan 40 tahun. Penyebab kekerasan suami terhadap istrinya adalah masalah keuangan.
Kekerasan ini seringkali menyebabkan perempuan mengajukan gugatan cerai, yang kemudian membuat mereka mendapat hukuman yang lebih berat, dan ini merupakan tambahan dari hal tersebut.
Pemerintah juga terus memperhatikan perempuan yang mengajukan gugatan cerai dan sudah memiliki anak. Mereka akan pergi ke kamp untuk pekerjaan pajak.
Hukuman perceraian juga berlaku bagi polisi. Mereka yang memilih untuk mengakhiri pernikahannya akan dikeluarkan dari kelas pekerja Korea, kehilangan semua manfaat akses terhadap pendidikan, perumahan dan pekerjaan yang lebih baik.
Angka perceraian meningkat sejak tahun 2020, ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Korea Utara. Kondisi ekonomi yang disebut-sebut buruk menjadi alasan pasangan di Korea Utara itu mengakhiri pernikahannya.
Untuk mengurangi perceraian di masa-masa sulit, Korea Utara mulai menghukum mereka yang bercerai.
Mulai Maret 2023, Korea Utara juga gencar mengkampanyekan pendidikan yang secara khusus mencegah perempuan menerima perceraian.
Ceramah ini sering diadakan oleh organisasi perempuan terbesar di Korea Utara, Socialist Women’s Union.
“Mari kita tolak sepenuhnya fenomena perceraian dan bangunlah keluarga yang harmonis, satu kesatuan masyarakat”, itulah yang kerap mereka promosikan.
Kampanye ini juga mencoba cara-cara pencegahan lainnya, termasuk mempermalukan orang tua yang bercerai di depan umum dan mengendalikan tingginya tingkat perceraian di kalangan pekerja.
Meskipun ada kampanye, angka perceraian tidak berkurang secara signifikan, dan kini pemerintah memberikan tanggapan yang lebih serius. (isa/bac)