Jakarta, CNN Indonesia —
Di Korea Utara, sekadar menikmati hot dog kini bisa membawa bencana.
Pemimpin tertinggi negaranya, Kim Jong Un, baru-baru ini melarang penjualan dan konsumsi makanan yang dianggap Barat, salah satunya hot dog. Pelanggar juga diancam hukuman berupa kerja paksa.
Larangan tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat dari pengaruh budaya Barat yang dianggap merusak. Hot dog yang awalnya hanya sekedar camilan, kini dianggap melambangkan pengkhianatan terhadap ideologi komunis.
Bukan hanya hot dog yang masuk dalam daftar makanan terlarang. Makanan khas Korea Selatan lainnya seperti bude-jajigae, yang dikenal sebagai ‘sup pangkalan militer’, juga dilarang dijual di pasar lokal.
Budae-jjigae merupakan masakan pedas Korea-Amerika (Amerika) yang salah satu bahan utamanya adalah sosis. Hidangan ini pertama kali muncul pada tahun 1950-an selama Perang Korea, ketika penduduk setempat menggunakan sisa daging kornet dari tentara Amerika untuk membuat sup.
Hidangan tersebut diyakini masuk ke Korea Utara sekitar tahun 2017, beberapa dekade setelah pertama kali dibuat di Korea Selatan. Namun sejak November lalu, Radio Free Asia (RFA) memberitakan bahwa pemerintah Korea Utara telah melarang budae-jjigae bersama dengan teokbokki, kue beras kukus yang juga populer di Korea Selatan.
Seorang pedagang di provinsi utara Ryonggang mengatakan pasar telah berhenti menjual Bude-jijiga. “Polisi dan manajer pasar telah memperingatkan bahwa siapa pun yang tertangkap menjualnya akan dilarang berdagang,” katanya, menurut New York Post.
Selain membatasi makanan Barat, rezim Kim Jong-un juga memperketat aturan sosial lainnya. Pada bulan Desember, muncul laporan bahwa para janda atau orang yang bercerai di negara tersebut dapat dipenjarakan di kamp kerja paksa selama satu hingga enam bulan karena ‘kejahatan’ mereka.
Perceraian dianggap sebagai tindakan anti-sosial di negara komunis ini. Keputusan untuk memisahkan diri memerlukan persetujuan pemerintah.
Seorang perempuan yang mengaku telah menjalani tiga bulan kerja paksa di provinsi Pyongan selatan mengungkapkan bahwa hukuman bagi perempuan yang bercerai lebih berat dibandingkan laki-laki.
Ia mengatakan bahwa sekitar 80 perempuan dan 40 laki-laki dipenjarakan di kamp pelatihan kerja di wilayah tersebut. Sekitar 30 dari mereka dipenjara karena perceraian, dan perempuan telah menerima banyak hukuman. (tst/asr)