Jakarta, CNN Indonesia —
Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029, Johannes Tanak, mendapat kecaman keras dari kelompok masyarakat sipil atas keinginannya untuk menghapuskan Operasi Tangkap Manos (OTT).
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pernyataan Johannis Tanak yang disampaikan di DPR kemarin (19/11) soal agenda uji kepatutan dan kepatutan tak lain tak lain untuk merebut hati anggota dewan. Calon pimpinan KPK lainnya.
“Dalam pandangan ICW, pernyataan Tanak tersebut bukan hanya untuk memenangkan hati anggota DPR, namun apa yang disampaikannya jelas tidak berdasar dan menyesatkan,” kata Peneliti ICW Dicky Anandhya lewat pesan tertulis. Kamis (20/11).
Dickey menegaskan, OTT merupakan senjata ampuh KPK untuk mengungkap kasus korupsi. Kata dia, OTT yang mendahului skema tersebut diatur dalam KUHAP.
“Perlu dipahami bahwa proses penyadapan itu sendiri sebagai proses perencanaan dalam penggeledahan OTT jelas diamanatkan dalam Pasal 12 ayat (1) UU KPK yang menyatakan “dalam melaksanakan tugas penyidikan dan penyidikan”. 6 huruf E ke KPK. Ada haknya untuk dengar pendapat,” kata Dickey.
Artinya penyadapan tentu bisa dilakukan sebagai bagian dari rencana untuk mengetahui ada tidaknya tindak pidana, lanjutnya.
Dia menjelaskan, OTT yang selalu dilakukan KPK merupakan cara mengungkap hasil penyadapan sebagai alat bukti untuk mengungkap aktivitas kriminal dan menangkap pelaku kejahatan. Dengan kata lain, lanjutnya, terminologi OTT yang digunakan KPK setara dengan tertangkap basah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP.
Dickey mengingatkan Johannes Tanak bahwa keberhasilan KPK banyak bersumber dari kegiatan OTT. Sejumlah pejabat seperti menteri, Ketua DPR, dan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) diadili atas operasi senyap tersebut.
“Jika ingin menghilangkan OTT sebagai strategi pemberantasan korupsi, pernyataan tersebut merupakan cara untuk melemahkan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Dickey.
Untuk itu, ICW menghimbau kepada anggota DPR untuk tidak memilih calon pimpinan KPK berdasarkan selera subjektif karena calon yang diperiksa ingin menghilangkan OTT karena bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi, lanjutnya.
Sementara itu, Indonesia Calling Institute (IM57+) mengaku tak heran dengan keinginan Yohannis Tanak untuk menghilangkan OTT. Hal ini terkait dengan beberapa catatan kompetensi moral yang ada semasa kepemimpinannya di KPK.
“Dari sisi kinerja, minimnya prestasi KPK dalam mengungkap kasus korupsi mencerminkan raison d’être JT (Johannis Tanak) semasa menjabat di KPK,” kata Presiden IM57+ Institute Lakso Anindito.
Laakso mengatakan, pernyataan tersebut sangat memprihatinkan ketika lembaga Yohannis Tanak, Kejaksaan Agung, mulai melakukan pendekatan OTT (tangan merah) terhadap beberapa kasus yang diketahui dalam praktik pemberantasan kejahatan internasional. skala
Anehnya, ketika praktik ini diterapkan dan diadopsi oleh aparat penegak hukum lainnya, bahkan KPK pun meninggalkannya. Padahal, OTT menjadi pintu masuk untuk mendeteksi kejahatan yang lebih serius, kata Laakso.
Laakso menilai keinginan Johannes Tanak menghapus OTT merupakan ujian bagi DPR dan Presiden agar tidak mengulangi kesalahan seleksi calon pimpinan KPK sebelumnya.
Saya ingat bagaimana pernyataan kontroversial Firli Bahuri yang dikeluarkan saat rapat dengar pendapat DPR lima tahun lalu yang terbukti merugikan pemberantasan korupsi setelah kita terpilih sebagai pimpinan KPK, kata Laakso.
“Masyarakat tidak heran jika DPR melakukan hal seperti itu. Namun, jika ternyata DPR memenuhi janjinya untuk mengganti KPK, itu adalah warisan pemerintahan Indonesia yang baru,” tegasnya. . (ryn/tidak)