Jakarta, CNN Indonesia –
Mahkamah Konstitusi (CC) memutuskan membatalkan ambang batas pemilu presiden 2017. dalam Undang-Undang Nomor 7 tentang Pemilu.
Menteri Harmonisasi Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Reformasi Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintah siap mempertimbangkan peninjauan kembali UU Pemilu sebagai tindak lanjut keputusan tersebut.
Yusril juga mengatakan, sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 1945, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, semua pihak, termasuk pemerintah, terikat pada keputusan Mahkamah Konstitusi dan tidak dapat menempuh upaya hukum apa pun.
Pak Yusril mengatakan: “Jika undang-undang pemilu memerlukan perubahan dan penambahan kriteria terkait pencabutan larangan pemilu presiden, maka pemerintah pasti akan bekerja sama dengan DRC.”
“Seluruh pemangku kepentingan baik KPU dan Bawaslu, akademisi, penggiat pemilu, dan masyarakat pasti akan ikut serta dalam pembahasan nanti,” ujarnya.
Dengan keputusan tersebut, bola panas kini ada di tangan legislator, yakni pemerintah dan Kongo. Masyarakat juga merasa perlu melakukan kontrol agar putusan Mahkamah Konstitusi benar-benar dilaksanakan.
Herdiansia Hamzah, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulavarman (FH), mengatakan pengawasan tersebut terkait dengan politik korporasi.
Hal itu, kata Castro, sapaan akrabnya, juga diwajibkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 166. 62/PU-XXII/2024.
Dalam putusan tersebut, MK juga mengusulkan rekayasa konstitusi agar penghapusan ambang batas tidak mengakibatkan terlalu banyak kemungkinan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Castro menjelaskan, salah satu prinsip rekayasa konstitusi adalah proses pembuatan undang-undang harus bersifat partisipatif atau bermakna.
Oleh karena itu, bagi mereka yang selama ini aktif dalam isu pemilu, dalam gerakan masyarakat sipil, harus ada ruang terbuka bagi mereka semua untuk berpartisipasi, karena harus inklusif dan melibatkan semua orang dalam proses partisipasinya, kata Castro saat dihubungi. CNNIndonesia. .com Senin (6/1).
“Tidak mungkin lagi perusahaan itu berpura-pura tutup ya hanya dengan keterlibatan elite politik tertentu. Tapi semuanya harus terbuka,” imbuhnya.
Castro mengatakan, proses peninjauan undang-undang ini juga harus transparan.
Misalnya, jika ada proyek atau konsep yang dikembangkan oleh pembuat undang-undang, maka hal tersebut harus tersedia untuk umum. Tujuannya adalah agar orang-orang meninjau dan mengkritik proyek tersebut.
Castro mengatakan yang terpenting adalah proses pengawasan dilakukan secara bersamaan. Artinya ada kontrol di dalam Parlemen serta kontrol eksternal atau eksternal.
Hal ini mencerminkan keputusan Mahkamah Konstitusi. 60/PPU-XXII/2024 tentang Pemberlakuan Batasan Pencalonan Pemimpin Daerah pada Pilkada.
Saat itu, RCC mencoba membatalkan keputusan tersebut sehingga berujung pada gerakan “Keadaan Darurat Indonesia” dan demonstrasi di berbagai daerah.
“Ini yang kami lihat sebagai proses yang masih seimbang antara kontrol di parlemen dan di luar parlemen,” kata Castro.
Oleh karena itu, kita perlu terus menggalang kekuatan politik di luar parlemen, agar ada semacam public mail tower yang kuat untuk terus menjalankan amanah yang diberikan dalam putusan MK, ujarnya.
Selain itu, Direktur Pusat Penelitian Konstitusi Universitas Andala (PUSaKO Unand) Feri Amsari juga mengatakan, kontrol publik diperlukan untuk memastikan kepatuhan undang-undang pemilu terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, menurut Feri, pengendalian tersebut juga tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang kriteria minimal pencalonan presiden.
“Iya, karena Resolusi 62 juga mengatakan harus ada partisipasi masyarakat yang berarti, harusnya menerapkan tiga hak, tiga tahapan, hak untuk didengar, hak menyatakan pendapat, hak untuk menjelaskan. Ini harusnya disampaikan kepada pihak yang berwenang. . Legislator,” – katanya.
Poin permainan
Di sisi lain, Castro sependapat bahwa masih ada celah yang bisa dijadikan sarana untuk mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi tentang ambang batas tersebut.
Cacat tersebut menyangkut rekayasa konstitusi yang diajukan hakim. Dalam putusannya, MA menyatakan usulan rekayasa konstitusi itu dilakukan untuk mencegah banyaknya calon presiden dan wakil presiden.
Castro yakin hal ini dapat digunakan oleh anggota parlemen untuk memulihkan pembatasan.
“Yah, saya khawatir para pembuat undang-undang dalam hal ini, pemerintah dan DPRK, menafsirkan keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai pembatasan yang justru membatasi hak konstitusional, khususnya partai politik,” kata Castro.
“Itu adalah hal yang mudah yang nantinya bisa ditafsir ulang atau ditafsir ulang oleh anggota parlemen,” ujarnya.
Dibandingkan Castro, kata Feri, gap sebelum putusan Mahkamah Konstitusi kecil. Sebab menurutnya, dalam putusan MK secara khusus disebutkan syarat pencalonan presiden dibatalkan.
“Sangat jarang sekali undang-undang tidak dirancang untuk mengganggu hasil pemilu 2029. Misalnya, jika Anda mencoba memberikan interpretasi yang berbeda dengan keputusan Komisi Eropa, maka apa yang dilakukan undang-undang tersebut otomatis tidak berlaku. “ucap Feri.
Feri juga menilai jika anggota parlemen memutuskan untuk “bermain-main” dengan putusan Mahkamah Konstitusi, maka dampaknya akan sangat luas.
“Masyarakat mempertanyakan hasil pemilu. Soalnya ini bukan hanya pemilu legislatif, tapi juga pemilu presiden. Wah, luar biasa efeknya kalau berbeda,” ujarnya.
“Kalau masih bisa main-main di pilkada, wajar kalau mereka ingin mengintervensi putusan MK secara politis. Tapi kalau mereka mengintervensi putusan MK soal Pilpres, konsekuensinya akan jauh lebih besar dibandingkan pada pilkada.