Jakarta, CNN Indonesia –
Ekonom Eko Listiyanto, Institute for Economic Development and Finance (INDEF), mengatakan penerapan diskon hingga 30 persen bagi mitra pengemudi ojek online (OJOL) sangat memberatkan.
Eko menyarankan agar perusahaan ojek perlu berdialog langsung dengan mitra pengemudi agar kedua belah pihak tetap saling menguntungkan.
Secara umum nilainya terlalu tinggi. Di sisi pengemudi, persaingan penumpang semakin ketat, potongannya semakin meningkat, pasti sulit, kata Eko di Jakarta, Selasa (14/1) dikutip Antara .
Sebelumnya, Ikatan Pengemudi OJEC Garda Online Indonesia mengeluhkan adanya pemotongan sepihak pada aplikasi OJOL sebesar 30 persen. Garda Indonesia telah meminta pemohon seperti Gojek dan Grab untuk mengurangi biaya diskon aplikasi.
Diskon hingga 30 persen tidak sesuai dengan aturan yang tertulis dalam Keputusan Menteri Perhubungan nomor KP 1001 Tahun 2022 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Perhubungan nomor KP 667 Tahun 2022 tentang pedoman penghitungan biaya penggunaan sepeda motor. Layanan.
Aturan tersebut digunakan untuk kepentingan masyarakat yang dibuat berdasarkan permintaan, di mana potongan biaya permintaan ojek ditetapkan maksimal 20 persen.
“Pemotongan tarif hingga 30 persen jelas menurunkan pendapatan mereka secara signifikan, apalagi jika memperhitungkan biaya pembelian kendaraan, biaya operasional seperti bahan bakar, dan perawatan kendaraan,” kata pakar otomotif Institut Teknologi Bandung Yannes Martinus Pasaribu.
Yannes berharap pemerintah bisa serius dan optimis melakukan pengawasan, evaluasi, dan penegakan regulasi secara lebih tegas untuk menjamin keseimbangan antara keuntungan perusahaan dan kepentingan lebih dari 7 juta mitra pengemudi yang juga merupakan mitra investor kendaraan pelaku transportasi online ini. . permintaan layanan.
Meski layanan tersebut kini menjadi bagian integral dari sistem transportasi, Yannes mengatakan perusahaan aplikasi masih menganggap pengemudi Ojole sebagai mitra atau kontraktor independen, bukan pekerja resmi.
“Hasilnya, perusahaan mempunyai kebebasan untuk menetapkan permintaan kebijakan, . . . . . Tidak ada pengawasan ketat dari pemerintah dan tidak adanya dasar hukum yang kuat untuk memberikan sanksi serius terhadap pelanggaran yang dilakukan pemohon jika terbukti,” kata Yannes.
Selain itu, Kementerian Perhubungan sudah lama disarankan membuat peraturan baru untuk mengatur transportasi online. Ojol harus naik ke tingkat Undang-Undang (UU).
(Staf / Putra)