Jakarta, CNN Indonesia —
Jaringan Rakyat Pantura (JRP) akhirnya buka suara usai dituding sebagai Organisasi Masyarakat “palsu” atau penipu (ORMAS) karena mengaku sebagai kelompok pembuat tanggul laut misterius sepanjang 30 kilometer (km) di Tangerong, Banten. . .
Koordinator JRP Sandy Martapraja menekankan pentingnya menghormati berbagai ideologi yang muncul di masyarakat, meski ia yakin tuduhan ormas palsu akan terjawab pada waktunya.
“Iya, spekulasi masyarakat itu valid, spekulasi, dugaan, dan lain-lain. Waktu akan menjawab kalau kita memang belum banyak tampil di media sebelumnya, oke. Tapi, kita giat mengedukasi para nelayan,” kata Sandy kepada media, Senin (13). . Saat dihubungi.
Menurut Sandy, JRP selama ini fokus pada inisiatif kebijakan, khususnya memberikan edukasi kepada nelayan agar mereka memahami berbagai permasalahan yang berdampak pada mereka.
Ia menegaskan, kiprah JRP tidak bisa banyak terekspos di media, sehingga wajar jika masyarakat meragukan keberadaan dan peran organisasi ini.
“Itu yang kita ketahui kemarin, para nelayan kita didik sejelas-jelasnya, Insya Allah itu saja. Ya, saya dan teman-teman juga kaget kalau beritanya (tembok laut) naik begitu banyak. katanya. lanjutan.
Sandy mengatakan JRP memiliki pendekatan strategis dalam mengedukasi masyarakat, khususnya nelayan, meskipun kebangkitan organisasi ini di kalangan masyarakat baru-baru ini dipicu oleh kehebohan atas tembok laut yang misterius.
“Jadi misalnya hari ini lihat itu diposting, itu wajar dan juga oke. Di dunia demokrasi ini, masyarakat boleh berpendapat,” imbuhnya.
JRP menyatakan bahwa mereka berkomitmen untuk bekerja dengan nelayan melalui pendekatan berbasis pendidikan, menjaga ruang terbuka untuk dialog dengan kelompok-kelompok yang mempertanyakan kredibilitas mereka.
Sebelumnya, di tengah upaya pembongkaran pembangunan pagar bambu setinggi 6 meter yang dilakukan pimpinan PKC, warga Pantura tiba-tiba mengaku. JRP mengklaim tembok laut itu ulah mereka.
Sandy mengatakan, pagar tersebut dibangun oleh pemerintah kota yang merupakan paguyuban nelayan. Tujuannya untuk mengurangi bencana tsunami dan erosi.
Tanggul laut yang membentang di sepanjang pantai utara Kabupaten Tangerang ini sengaja dibangun secara mandiri oleh masyarakat. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi, kata Sandy di Tangerang dikutip Antara, Sabtu (11/1).
Kedua, mencegah erosi, mencegah pengikisan tanah di wilayah pesisir yang dapat merusak ekosistem dan pemukiman. Kemudian mengurangi risiko tsunami, meski tidak bisa mencegah tsunami secara menyeluruh, jelasnya.
Namun klaim JRP bertentangan dengan klaim nelayan lain di pesisir pantai. Laporan warga yang peduli juga menjadi titik awal pemerintah mengambil tindakan.
Pembangunan tembok laut misterius Tangerong telah menghubungkan wilayah pesisir 16 desa di 6 kecamatan. Di tempat ini terdapat 3.888 masyarakat nelayan yang bermatapencaharian sebagai nelayan dan 502 orang sebagai penggarap.
“Saya terkejut:” Untuk apa ini? Semua orang di sini juga dikejutkan oleh para nelayan. Untuk apa ini?,” kata salah seorang pria yang namanya diubah demi alasan keamanan, saat dihubungi fun-eastern.com, Jumat. (10/1).
Nelayan tersebut mengatakan, warga di luar desa menggunakan perahu nelayan untuk memasang pagar bambu. Pemasangan dilakukan secara rutin setiap hari mulai pukul 07.00 WIB hingga 12.00 WIB
Pada Kamis (9/10), PKC juga menyegel pagar laut tersebut. Direktur Pengendalian Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Pung Nugroho Saksono mengatakan, penyegelan tersebut dilakukan atas arahan Presiden Prabowo Subianto serta instruksi langsung Menteri Perikanan Shakti Wahyu Trengno. (Dell/PTA)