Jakarta, CNN Indonesia —
A319 melakukan pendaratan dramatis di landasan sempit. Pilot dengan cepat melakukan perubahan dramatis pada menit terakhir pesawat lepas landas.
Puluhan penumpang yang cemas bahkan terengah-engah selama beberapa menit sambil bertepuk tangan puas.
Ini adalah pengalaman yang lumrah ketika tiba di Bandara Internasional Paro (PBH) di Bhutan. Tak heran jika bandara ini dikenal sebagai salah satu tempat pendaratan tersulit di dunia.
Terletak di puncak pegunungan Himalaya yang tingginya mencapai 18 ribu meter, bandara ini hanya tersedia bagi pilot yang terlatih dan bersertifikat. Tak heran jika mendaratkan Airbus A319 di landasan sempit bandara menjadi pengalaman tak terlupakan baik bagi penumpang maupun pilot.
Dengan panjang landasan hanya 7.431 meter, pilot yang mendarat di bandara Faro harus mengandalkan keterampilan manual sepenuhnya, tanpa bantuan radar otomatis.
Jalan tersebut terletak di lembah sempit, dengan gunung terjal di dekatnya. Sebab, pilot hanya bisa melihat landasan saat mendekati pendaratan.
Pilot senior Druk Air (Royal Bhutan Airlines), Chimi Dorjee, yang telah terbang selama lebih dari 25 tahun, menggambarkan tantangan ini sebagai kombinasi dari keberanian, ketepatan, dan pemahaman mendalam tentang medan setempat.
“Ini menantang keterampilan pilot, tapi tidak berbahaya. Karena jika berbahaya, saya tidak akan menerbangkan pesawat ke sana,” kata Dorjee mengutip CNN.
Faro tergolong bandara kategori C, artinya hanya pilot terlatih khusus yang diperbolehkan mendarat di sana. Pelatihan ini mencakup keterampilan dan penguasaan lahan sekitar.
Dorji menjelaskan, kesalahan sekecil apa pun dalam memahami bumi bisa berakibat fatal.
“Di Faro harus memiliki keterampilan dan keahlian lokal. Kita menyebutnya pelatihan keterampilan regional atau pelatihan rute dari mana saja ke Faro,” ujarnya.
Kapten pesawat berusia 43 tahun itu dengan bangga mengatakan bahwa dia adalah salah satu dari 50 pilot yang diizinkan terbang ke sana.
Bhutan, antara Tiongkok dan India, 97 persennya merupakan negara pegunungan. Bandara Paro sendiri berada 7.382 meter di atas permukaan laut, sedikit lebih rendah dari ibu kota Thimpu yang 7.710 meter.
Ketinggian ini mempengaruhi cara pesawat terbang. Pasalnya, udara yang lebih tipis membuat pesawat harus terbang lebih cepat untuk mempertahankan daya angkat.
Kecepatan pesawat sama, namun kecepatan menuju darat lebih cepat karena udara di ketinggian lebih tipis, jelas Dorji.
Faktor ini merupakan salah satu masalah teknis yang harus dihadapi oleh pilot dan ATC (Air Traffic Control). Cuaca juga berperan penting dalam menentukan waktu penerbangan ke Faro.
Siapa pun yang pernah terbang ke Paro, dari New Delhi, India; Bangkok, Thailand; Atau Hanoi, Vietnam mulai Oktober 2024, Anda mungkin harus bangun pagi-pagi untuk penerbangan.
Kebanyakan penerbangan dijadwalkan pada pagi hari untuk menghindari udara panas dan turbulensi yang biasanya terjadi pada siang hari. Saat musim hujan, pada bulan Juni hingga Agustus, guntur dan hujan es sering terjadi, yang tentu saja membuat penerbangan menjadi sulit.
“Kami berusaha menghindari bekerja pada sore hari karena udara panas dan suhu lebih tinggi. Pagi hari lebih tenang dan aman,” tambah Dorji.
Meski penuh tantangan, Bandara Faro tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi para pecinta penerbangan. Sungguh menakjubkan melihat pesawat besar seperti Airbus A319 atau Boeing 737 menyusuri lembah sempit ini.
Bagi banyak pelancong, pengalaman darat menambah nuansa mistis dalam perjalanan ke Bhutan, negara bagian Himalaya yang terkenal dengan keindahan alam dan budayanya yang unik.
“Penerbangan ke Faro adalah salah satu pengalaman paling menarik dalam karier saya. Anda tidak hanya membutuhkan keterampilan teknis, tetapi juga keberanian dan kepercayaan diri,” kata Dorji, yang melatih pilot dan awak kabin Druk Air.
Bhutan kini telah membangun Bandara Gelephu untuk melengkapi Bandara Paro. Bandara ini memiliki area datar dan landasan pacu yang lebih panjang, sehingga memudahkan pilot tanpa pelatihan khusus untuk masuk.
Tahun depan, Bhutan berencana membuka penerbangan langsung dari Amerika Utara, Eropa, dan Timur Tengah untuk meningkatkan jumlah wisatawan internasional.
Namun hingga saat itu, hanya sedikit pilot yang bisa menikmati tantangan dan kehormatan mendaratkan pesawat di Bandara Faro. Pengalaman ini tidak hanya menunjukkan kemampuan teknisnya, namun juga keberanian dan komitmennya terhadap keselamatan penerbangan.
Terlepas dari keunikan dan segala tantangannya, Bandara Paro tetap menjadi simbol kebanggaan Bhutan dan daya tarik tersendiri dalam dunia penerbangan. (aur/tis, wah)