Jakarta, CNN Indonesia –
Kasus dugaan korupsi tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) di Surabaya, Jawa Timur dan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Rikar menambah wajah kelam peradilan Indonesia. Ketiga hakim PN Surabaya yang ditangkap antara lain Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul.
Mereka diduga menerima suap dari pengacara terpidana Gregorius Ronald Tannur, Lisa Rahmat, atas kebebasan yang diberikan kepada mereka beberapa waktu lalu. Ibu Ronald Tanunur, Meirizka Widjaja diduga memberikan uang sebesar 3,5 miliar lei melalui Lisa kepada ketiga hakim tersebut.
Sementara itu, Zaroff, mantan Kepala Badan Litbang Diklat KUMDIL MA, diduga membantu Lisa memimpin kasus Ronald di tingkat perkara MA.
Lisa menyiapkan Rp 6 miliar. Rp1 miliar untuk Zaroff dan sisanya untuk tiga hakim agung yang menangani kasus Ronald.
Kasus korupsi ini ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung). Tiga hakim PN Surabaya, Zaroff, seorang pengacara, dan ibu Ronald ditetapkan sebagai tersangka. Mereka ditahan.
Tak lama setelah kasus tersebut terungkap, Mahkamah Agung membatalkan pembebasan Ronald. Majelis pembatalan yang terdiri atas Soesilo, Ainal Mardhiah, dan Sutarjo memvonis putra mantan anggota DPR dari Fraksi PKB, Edward Tannur, dengan hukuman lima tahun penjara.
Dari kasus ini juga terungkap bahwa Zaroff merupakan makelar perkara di Mahkamah Agung pada tahun 2012 hingga 2022. Zaroff diduga menerima sejumlah uang dalam penanganan perkara selama 10 tahun terakhir.
Penyidik Kejaksaan Agung juga menemukan berbagai pecahan pecahan senilai Rp 920.912.303.714 (Rp 920 miliar) dan emas batangan seberat 51 kg saat menggeledah rumah Zruf.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai, terungkapnya praktik suap terhadap tiga hakim PN Surabaya dan mantan pejabat Mahkamah Agung membuktikan masih kuatnya mafia hukum. Menurutnya, kasus tersebut semakin menunjukkan bahwa dunia peradilan Indonesia sangat rusak.
“Tentu ini bukti mafia hukum masih kuat. Ini semakin menunjukkan dunia peradilan kita sangat busuk, semua bisa diatur, dibeli dengan uang, hampir semua tahapan suatu perkara,” kata Zaenur kepada CNNIndonesia com. pada hari Selasa. (3/11).
Zaenur mengatakan, kasus dugaan suap ini menambah daftar panjang hakim dan pejabat di lembaga peradilan yang terjerat korupsi.
Sejauh ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani sekitar 31 kasus korupsi yang melibatkan hakim, baik hakim pengadilan negeri, pengadilan tata usaha negara, pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung. Ini belum termasuk kasus-kasus yang melibatkan panitera dan pejabat pengadilan lainnya.
Pada tahun 2022, KPK untuk pertama kalinya menorehkan sejarah dengan menetapkan dua hakim MA, yakni Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh, sebagai tersangka suap. Gazalba juga menjadi tersangka kasus pencucian uang (TPPU).
Selain itu, dua mantan Sekretaris MA yakni Nooradi Abdurrahman dan Hasbi Hassan juga menjadi tawanan K.P.K. Nurhadi pertama kali ditetapkan sebagai tersangka pada tahun 2020, sedangkan Hasbi memberikan suap pada tahun 2023.
Menurut Zaenur, praktik penganiayaan yang melibatkan hakim dan pegawai pengadilan masih terjadi karena sudah berlangsung bertahun-tahun dan membudaya. Buktinya, setelah dua hakim MA disangkakan KPK, kasus ini masih terus terjadi.
“Korupsi artinya saling belajar, saling belajar, ketika ada rekan yang menerima suap, dia melihat, oh terima suap boleh saja, tidak ada konsekuensinya, maka saya juga bisa menerima suap sehingga saya bisa hidup dengan baik, hidup nyaman, itu sudah menjadi kebiasaan lama,” ujarnya.
Zaenur mengatakan korupsi peradilan atau korupsi penegakan hukum sudah menjalar ke seluruh lembaga penegak hukum, termasuk KPK. Penyidik, pegawai, dan petugas Rutan KPK terlibat dalam sejumlah kasus berbeda.
Korupsi di bidang hukum, Zaenur juga mempengaruhi Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia. Nilai IPK mencapai 40 poin pada periode pertama Presiden ketujuh Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) tahun 2019.
Namun skor tersebut terus menurun seiring dengan berbagai kebijakan yang kurang mendukung pemberantasan korupsi dan kasus korupsi yang muncul pada periode kedua Jokowi. Dalam tiga tahun terakhir, nilai IPK Indonesia stagnan di angka 34 poin.
“Korupsi di bidang peradilan begitu meluas sehingga menimbulkan ketidakpastian, dan ketidakpastian menjadi momok yang menakutkan bagi investor, pengusaha, dan masyarakat pada umumnya,” kata Zaenur.
Zaenur mendorong pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto untuk membenahi sektor hukum, termasuk peradilan. Menurutnya, tidak ada perhatian serius dari pemerintahan sebelumnya. Padahal, dalam 10 tahun terakhir hukum dijadikan instrumen kekuasaan atau alat politik.
“Tidak ada reformasi mendasar pada lembaga peradilan kita, sehingga sampai saat ini masih terdapat budaya atau kebiasaan korupsi dalam bentuk jual beli perkara, pengawasan relatif lemah, pembinaan relatif lemah,” ujarnya.
Lanjutkan di halaman berikutnya…