Jakarta, CNN Indonesia —
Alexander Marwada, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengatakan Pasal 36 UU Komisi Pemberantasan Korupsi (ACC) merupakan pasal yang termasuk dalam batas etika.
Pasal 36 UU Komisi Pemberantasan Korupsi melarang pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi untuk berkomunikasi secara langsung maupun tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain dengan alasan apapun. Alex menggugat pasal ini ke Mahkamah Konstitusi (MC).
Menurut Alex, ketentuan ini untuk menjaga integritas dan reputasi lembaga antikorupsi.
“Pasal 36 dan 37 (UU BPK) berada pada bidang etik untuk menjaga keutuhan masyarakat BPK dan ketertiban BPK,” kata Alex saat dikonfirmasi melalui keterangan tertulis, Jumat (8/11).
Oleh karena itu, sebelum mengajukan ke pengadilan, sebaiknya kita periksa apakah norma tersebut dilanggar atau tidak,” lanjutnya.
Senin, 4 November, Alex mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (CJ) terhadap Pasal 36 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 1945.
Kini, Bolta Metro prihatin dengan pertemuan Jaya Alex dengan mantan Kepala Kantor Bea dan Cukai Yogyakarta Eko Tormondo yang kini dituduh melakukan korupsi dan pencucian uang.
Padahal, menurut Alex, pertemuan itu untuk mendengarkan laporan dugaan korupsi yang dilakukan Gema. Selain itu, rapat resmi juga digelar di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi yang dihadiri pegawai departemen tersebut.
Menurut Alex, rapat tersebut digelar untuk memenuhi tugas dan wewenangnya sebagai Ketua BPK.
Oleh karena itu, menurut Alex, Pasal 36 UU KPK mengikat secara hukum dan tidak diskriminatif.
“JR yang saya usulkan mewakili kepemimpinan saat ini dan masa depan. Ini untuk kepentingan seluruh rakyat BPK,” kata Alex.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (ACC) yang juga merupakan Hakim Anti Korupsi (ACC) ini menilai Pasal 36 dan 37 UU Komisi Pemberantasan Korupsi bisa dijadikan alat untuk mengadili para pimpinan dan pejabat. BPK.
Menurut Alex, meski penafsiran UU Komisi Pemberantasan Suap dikatakan sangat jelas, namun kalimat dalam klausul tersebut belum jelas.
“Di mana ketidakjelasan atau setidaknya perbedaan penafsiran pembentuk undang-undang? Undang-undang mengatakan kontak langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang terlibat dalam perkara itu dilarang. Entah kenapa,” kata Alex.
“Yang tersangka sudah jelas sedang diperiksa dan sudah ada tersangkanya. Tapi pihak lainnya siapa? aparat penegak hukum,” lanjutnya.
Menurut Alex, pertemuan atau komunikasi seharusnya dilarang ketika RDK dan pemerintah menjadi legislator. Dia mencontohkan, ada pertemuan atau komunikasi yang menimbulkan konflik kepentingan atau mengganggu penanganan perkara korupsi yang sedang menunggu keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Inti dari Pasal 36 dan 37 adalah melindungi pegawai KPK dari benturan kepentingan dan campur tangan dalam penanganan perkara korupsi. Apabila pertemuan/komunikasi tersebut tidak mencederai integritas pegawai KPK dan perkara dapat diselesaikan tanpa ada hambatan/hambatan, maka apakah pantas dikenakan sanksi etik, bukan hukuman,” kata Alex.
“Menurut saya, hanya aparat penegak hukum yang tidak memahami esensi Pasal 36 dan 37 undang-undang ini yang mengkriminalisasi hubungan/perkumpulan siapa pun yang berhubungan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujarnya. (Rin/Vis)