Jakarta, CNN Indonesia —
Donald Trump menarik Amerika Serikat (AS) dari perjanjian iklim Paris pada Senin (20/1), tak lama setelah ia resmi dilantik sebagai presiden. Cari tahu alasannya.
Trump tampak menandatangani perintah eksekutif untuk menarik Amerika Serikat dari perjanjian tersebut, sebelum para pendukungnya berkumpul di Capital One Arena di Washington.
“Saya segera menarik diri dari perjanjian iklim Paris palsu, yang tidak adil dan hanya sepihak,” kata Trump sebelum menandatangani perintah tersebut, menurut Reuters.
“Amerika Serikat tidak akan menyabotase industri kita sendiri sementara Tiongkok melakukan polusi tanpa mendapat hukuman,” lanjutnya.
Langkah penarikan AS ini menempatkan Negeri Paman Sam bersama Iran, Libya, dan Yaman sebagai sedikit negara di dunia yang tidak menjadi bagian dari pakta tersebut.
Dalam Perjanjian Paris, negara-negara penandatangan sepakat untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri untuk menghindari dampak terburuk dari krisis iklim.
Sementara itu, para peneliti menyebutkan tahun 2024 resmi tercatat sebagai tahun terpanas dengan peningkatan suhu global lebih dari 1,5 derajat Celcius sepanjang tahun.
Pemanasan sebesar 1,5 derajat sejak masa pra-industri ini dikonfirmasi oleh Copernicus Climate Change Service (C3S) Uni Eropa, yang mengatakan bahwa perubahan iklim mendorong suhu bumi ke tingkat yang belum pernah dialami manusia modern.
Para peneliti menggambarkan setiap bulan pada tahun 2024 sebagai bulan terpanas atau terpanas kedua sejak pencatatan dimulai.
Suhu rata-rata bumi pada tahun 2024 akan mencapai 1,6 derajat Celcius, lebih tinggi dibandingkan tahun 1850-1900, yaitu masa pra-industri, sebelum manusia mulai membakar bahan bakar fosil yang mengeluarkan karbon dioksida dalam skala besar.
Keputusan menarik diri dari Perjanjian Paris juga mencerminkan skeptisisme Trump terhadap pemanasan global yang dianggapnya sebagai “hoax”.
Selain itu, Trump juga diketahui mempunyai agenda deregulasi pengeboran migas di Amerika Serikat guna memaksimalkan hasil produksi.
Sebelumnya, Trump juga menarik Amerika Serikat dari pakta tersebut pada masa jabatan pertamanya sebagai presiden pada 2017-2021.
Amerika Serikat merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Para pengamat percaya bahwa keluarnya Amerika Serikat dari pakta tersebut akan melemahkan ambisi global untuk mengurangi emisi.
“Kali ini, tindakan Amerika Serikat bisa lebih merusak upaya iklim global. Kali ini akan lebih sulit karena kita berada di tengah-tengah penerapannya, menghadapi pemilu yang sebenarnya,” kata mantan negosiator Perjanjian Paris Paul Watson.
Menurut laporan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dunia saat ini sedang menghadapi pemanasan global yang bisa mencapai lebih dari 3 derajat Celcius pada akhir abad ini.
Selain itu, pendekatan Trump tampaknya sangat kontras dengan pendekatan Joe Biden. Saat menjabat, Biden ingin Amerika Serikat memimpin upaya iklim global dan mencoba mendorong transisi dari minyak dan gas melalui subsidi dan peraturan.
Sementara itu, Trump malah bermaksud menghilangkan subsidi dan peraturan tersebut, memperkuat anggaran negara dan menumbuhkan perekonomian, serta memastikan “udara dan air bersih” di Amerika Serikat.
Kekhawatiran para ahli
Keputusan Trump ini sudah diantisipasi sejumlah pakar iklim yang khawatir terpilihnya Trump akan membahayakan upaya global mengatasi krisis iklim. Para ahli khawatir upaya mencegah memburuknya krisis iklim akan menemui jalan buntu.
Saya yakin kembalinya Trump ke Gedung Putih diharapkan Amerika Serikat akan kembali meninggalkan Perjanjian Paris dan bahkan mungkin menarik diri dari kerangka kerja PBB untuk menangani krisis iklim.
Selama kampanye, Trump menyebut perubahan iklim sebagai “kebohongan besar”, juga mengkritik tenaga angin dan mobil listrik, serta berjanji untuk membatalkan kebijakan lingkungan dan “skema ramah lingkungan” yang didukung oleh Undang-Undang Pengurangan Inflasi.
Menurut para analis, agenda Trump dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar, yang akan mempersulit pencapaian tujuan pencegahan pemanasan global yang ekstrim.
“Memilih seorang penyangkal iklim sebagai presiden Amerika Serikat sangat berbahaya bagi dunia,” kata Bill Hare dari Climate Analytics, dilansir The Guardian, beberapa waktu lalu.
Trump diperkirakan akan menggagalkan upaya untuk mencegah kenaikan suhu global lebih dari 1,5 derajat Celcius. Kini dengan terpilihnya Trump, tujuan Perjanjian Paris akan semakin sulit dicapai.
Di Eropa, para aktivis dan politisi yang mendukung aksi iklim khawatir dengan terpilihnya Trump. Thomas Weitz, anggota Parlemen Eropa dan pemimpin Partai Hijau Eropa, menyebutnya sebagai hari kelam bagi Amerika Serikat dan dunia.
(bromin/dmi)