Jakarta, Indonesia —
Riset Lokadata.id menunjukkan sekitar 69 persen generasi muda menggunakan aplikasi telehealth untuk berobat. Apa alasannya?
Hasil penelitian tersebut memperjelas bahwa kenyamanan menjadi alasan utama mengapa banyak pengguna mengandalkan platform digital untuk mengeluhkan masalah kesehatannya.
“Kami mengamati 69 persen anak muda menggunakan Telehealth dan lebih dari satu aplikasi,” kata Suwandi Ahmad, Head of Data Lokadata.id pada acara GDP Venture Powerlunch di Batavia, Rabu (22/01).
“Awalnya kita curiga itu adalah generasi junkies. Tapi ternyata alasan utama mereka berpikir adalah kehati-hatian mereka. Jadi kalau kita mengira satu kali konsultasi ke layanan kesehatan memakan waktu antara 4 sampai 6 jam, maka itu benar. waktu yang tidak perlu. Termasuk menunggu di antrean obat dan sebagainya,” tambahnya.
Suwandi menjelaskan kepada respondennya bahwa terdapat lebih dari satu aplikasi telehealth dan masing-masing aplikasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Hasilnya, pengguna memiliki lebih banyak pilihan saat menggunakan aplikasi.
Alasan responden menggunakan aplikasi telehealth sangat beragam, salah satunya adalah tidak perlu mengantri. Pasalnya antrian merupakan salah satu permasalahan yang sangat mengganggu dalam melakukan pemeriksaan kesehatan.
Selain itu, kata Suwandi, responden juga menggunakan aplikasi telehealth karena menghemat biaya transportasi. Pasalnya, banyak aplikasi telehealth yang menawarkan layanan pengiriman obat sehingga penggunanya cukup menunggu di rumah.
Meskipun banyak alasan praktis yang diberikan, responden juga memiliki kekhawatiran tentang penerapan telehealth, termasuk diagnosis yang tidak meyakinkan.
“Lebih banyak responden yang kami wawancarai yang merasa seperti sedang mengobrol dengan robot dibandingkan mengobrol dengan AI,” kata Suwandi.
“Meskipun diagnosisnya tipis, hal ini tidak meyakinkan karena mereka menggunakan bahasa sebagai pola dari gejala yang cukup umum,” tambahnya.
Kekhawatiran lainnya kemudian berkaitan dengan kemungkinan kebocoran data. Pengguna khawatir data mereka dapat digunakan untuk tujuan lain.
Menurut Suwandi, kekhawatiran tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya penekanan pada jaminan keamanan data pengguna. Ia mengatakan bahwa banyak aplikasi telehealth didasarkan pada solusi bersertifikat dan aman, namun tidak banyak yang mendukung keamanan data.
Penggunaan AI dalam aplikasi telehealth
Kecerdasan buatan menjadi topik hangat di berbagai bidang, dan penerapannya semakin meluas. Aplikasi telehealth adalah aplikasi yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan sebagai platformnya.
Dalam acara yang sama, Kepala Kantor Transformasi Teknologi Kementerian Kesehatan Setiaji menyinggung penggunaan kecerdasan buatan pada aplikasi telehealth ini. Ia mengatakan ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam penggunaan kecerdasan buatan dalam aplikasi kesehatan, salah satunya adalah transparansi.
“Yang pertama tentu saja cara konfirmasi yang digunakan, sudah jelas. Banyak yang bilang, aduh AI-ku, sudah 80%, 90%, tapi harus dipastikan cara mana yang digunakan? 10 contoh,” kata Setiaji.
Setiaji mengatakan, saat ini hasil dari proses kecerdasan buatan hanya membantu mempercepat diagnosis dan masih perlu dikonfirmasi oleh dokter.
Setiaji mengatakan pihaknya belum memiliki peraturan yang mengatur penggunaan kecerdasan buatan pada platform layanan kesehatan. Kementerian Kesehatan kini telah membentuk kelompok pekerja ahli (pokja).
Pekerjaan kecerdasan buatan ini nantinya akan memiliki kekuatan untuk mengembangkan pedoman penggunaan kecerdasan buatan yang dapat diadopsi oleh para guru.
“Sekarang sedang kita rumuskan regulasinya, di antaranya yang efisien tertentu, yang kita uji untuk kasus penggunaan pertama, apakah yang pertama klinis atau non klinis. Sehingga tidak merugikan masyarakat,” pungkas Setiaji.
(patah / dmi)