Jakarta, CNN Indonesia —
Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar membahas penutupan sekolah selama bulan Ramadhan penuh. Ia mengatakan hakikat Ramadhan bagi umat Islam adalah ibadah.
Menurut Nasarrudin, Dengan libur sebulan penuh, siswa mengaji; menghafal Al-Qur’an; Mempraktikkan praktik sosial Islami dan pertemuan keluarga dapat meningkatkan perhatian.
Namun, Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar (Cak Imin) tak sependapat dengan pembicaraan saat liburan sekolah saat puasa.
Ia menilai 40 hari libur itu terlalu lama. Selain itu, kata dia, bulan Ramadhan tidak menghalanginya untuk beraktivitas seperti biasa.
“Saya rasa tidak perlu. Karena konsep Ramadhannya masih belum jelas, tidak perlu (berangkat), jalani saja dan jangan berhenti berpuasa (segala aktivitas),” kata Cak Imin di Jakarta. Sabtu Dikutip dari Antara.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti juga mengatakan pemerintah tidak membahas masalah tersebut selama liburan sekolah di bulan puasa.
Menanggapi wacana tersebut, Ketua PBNU Yahya Cholil Staquf menilai belum ditemukan preseden yang jelas mengenai libur sekolah di bulan Ramadhan. Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan terlebih dahulu untuk memberikan contoh yang jelas.
Sementara itu, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas mendukung hal tersebut. Namun jika sekolah diliburkan, menurutnya anak-anak tidak akan bisa mempelajari peran dan inklusivitas guru.
Totok Amin Soefijanto, Analis Universitas Paramadin, mengatakan ceramah tersebut sebenarnya memiliki tujuan yang baik karena dapat menginspirasi mahasiswa untuk memperdalam ibadahnya.
Namun, praktiknya mungkin berbeda. Ia menanyakan siapa yang akan memimpin para santri jika mendapat libur penuh selama Ramadhan. Orang tua tidak bisa sepenuhnya berada di rumah, apalagi jika keduanya bekerja, ujarnya.
“Ada niat baik puasa Ramadhan untuk mengajak santri lebih banyak beribadah, namun perlu diuji. Siapa yang akan memimpin liburan? Mereka menghidupi diri mereka sendiri,” kata Totok kepada fun-eastern.com, Senin (13/1).
Totok meyakini siswa akan lebih terbimbing jika masih berupa sekolah. Menurut dia, Perhatian lebih dapat diberikan pada penyerapan ilmu pengetahuan dan pengamalan nilai-nilai agama.
Menurut dia, selama bulan puasa Pemerintah dapat memerintahkan sekolah untuk melakukan kegiatan yang intens secara spiritual tanpa mengabaikan proses pembelajaran lainnya.
Terkait hal tersebut, Totok mengimbau para guru untuk memasukkan ajaran agama dalam setiap proses belajar mengajar.
“Guru tidak sekedar berceramah agar kegiatan bermakna. “Guru bisa dengan tenang menambahkan ilmu dalam pengajaran agama,” ujarnya.
Totok menjelaskan, puasa merupakan kesempatan bagi siswa untuk belajar beraktivitas normal, termasuk sekolah. Puasa Ramadhan bukan alasan untuk bermalas-malasan.
“Memang melegakan, tapi bukan menjadi alasan untuk tidak bekerja. Kalau tidak bisa menahan godaan atau godaan, maka yang bisa dilakukan hanyalah puasa fisik,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Totok, pemerintah harus mempertimbangkan prinsip inklusivitas dalam wacana tersebut. Apalagi di sekolah negeri, siswanya tidak hanya beragama Islam.
Menurutnya, sayang sekali jika mahasiswa non-Muslim malah berlibur selama sebulan penuh.
“Menurut penelitian, dalam kegiatan sekolah pun siswa kita masih sedikit belajar. Pembelajaran di sekolah terbatas. Dan tidak ada sekolah,” ujarnya.
Rencana penggantian
Pada saat yang sama, Suyanto, pakar pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), menawarkan program lain dimana mahasiswa tidak mendapat libur penuh selama cuti panjang. Suyanto mengatakan, siswa bisa diliburkan pada minggu pertama Ramadhan dan minggu terakhir sebelum Idul Fitri.
“Anak-anak masih bersekolah. Mungkin seminggu saat Prapaskah dan seminggu sebelum hari raya,” kata Suyanto saat diwawancara.
Dewan Pakar Dewan Pendidikan Dasar PNF PP Muhammadiyah meyakini program ini tidak akan menghilangkan bonding time antara siswa dan keluarga serta tetap menjaga aktivitas belajar mengajar di sekolah.
Sebagai pelajar muslim yang wajib sahu, maka disarankan waktu masuk sekolah digeser 30 menit dari jadwal biasanya.
“Dengan libur seminggu di awal hari Sabat dan seminggu sebelum Idul Fitri, anak-anak bisa berkumpul dengan keluarga dan tetap menjaga aktivitas belajar di sekolah,” kata Suyanto.
Dikatakannya, tidak semua keluarga siap mendidik anaknya jika mendapat libur penuh di bulan sabat. (mnf/tsa)