JAKARTA, CNN Indonesia —
Alon Pincas, mantan konsul jenderal Israel di New York, mengatakan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tidak memiliki rencana untuk mengakhiri perang di Timur Tengah.
Pinchas mengatakan kepada CNN bahwa operasi militer Israel yang semakin intensif di Jalur Gaza dan Lebanon adalah bukti bahwa Netanyahu ingin terus berjuang untuk “bertahan hidup.”
“Netanyahu tidak ingin mengakhiri perang. Dia ingin meningkatkan dan memperpanjangnya guna menciptakan suasana seperti perang yang bermanfaat secara politik dan politik,” kata Pincas, seperti dikutip CNN.
Pinchas mengatakan citra Netanyahu sebagai ‘Tuan Keamanan’ tampaknya telah hancur menyusul serangan yang dilakukan milisi Hamas pada 7 Oktober 2023. Netanyahu juga berusaha keras untuk meningkatkan reputasinya dengan terus membantai Hamas.
Menurut Pinkas, langkah Netanyahu tampaknya berhasil karena perang melawan Hamas di Gaza saat ini masih sangat populer di Israel.
Meskipun demikian, serangan terhadap Gaza pasti akan menimbulkan sejumlah permasalahan yang kompleks. Misalnya saja nasib pendudukan jangka panjang, hubungan masa depan antara Israel dan Palestina, serta konflik dengan negara tetangga, termasuk yang saat ini terjadi dengan milisi Hizbullah di Lebanon.
Terkait invasi Israel ke wilayah selatan Lebanon, Pinchas meyakini hanya gencatan senjata di Jalur Gaza yang bisa meredakan ketegangan di Lebanon.
Namun Perdana Menteri Netanyahu sejauh ini secara terbuka menunjukkan bahwa dia menolak wacana tersebut.
Perang di Gaza saat ini hanya dijadikan alat Netanyahu untuk melanggengkan kekuasaannya. Belum ada pembahasan lebih lanjut mengenai pembebasan ratusan sandera yang masih ditahan di Gaza.
“Saya kira dia tidak ingin mengakhiri perang,” kata Pinchas.
Serangan Israel di Jalur Gaza sejauh ini telah menewaskan 42.126 orang. Kebanyakan korbannya adalah anak-anak dan perempuan.
Israel terus menyerang Jalur Gaza dan baru-baru ini mulai kembali menginvasi wilayah utara. Ratusan ribu orang yang tinggal di Jalur Gaza utara juga terpaksa mengungsi lagi ke selatan karena mereka kehilangan akses terhadap bantuan pangan. (blq/wiw)