JAKARTA, CNN Indonesia —
Pemilihan presiden AS (philpress) memiliki sistem pemungutan suara yang berbeda.
Beberapa negara, seperti kebanyakan negara, menggunakan kertas suara. Sebagian masyarakat menggunakan teknologi digital yaitu pemungutan suara elektronik.
Belakangan ini, pemungutan suara elektronik (e-voting) semakin banyak digunakan di negara-negara di dunia, khususnya di Eropa. Namun penggunaannya telah memicu kontroversi, sebagian besar karena kekhawatiran mengenai potensi manipulasi surat suara.
Seperti di sebagian besar negara, orang Amerika menggunakan kertas suara untuk memilih calon presiden pilihan mereka.
Mereka “memilih” atau menandai bagian tertentu dari surat suara untuk dihitung oleh petugas.
Cara ini dianggap aman dari gangguan dan, meski sudah cukup tua, namun tidak pernah dihentikan. Metode ini juga memungkinkan pemilih untuk memeriksa ulang surat suara mereka dan memungkinkan pejabat untuk memeriksa ulang surat suara mereka dalam audit pasca pemilu.
Selain surat suara, masyarakat Amerika juga dapat memilih calon presiden melalui alat perekam elektronik.
Mesin ini digunakan di beberapa negara bagian untuk memungkinkan pemilih memilih kandidat yang hasilnya dapat dihitung lebih cepat dibandingkan kertas suara.
Mana yang lebih aman?
Pemungutan suara elektronik mungkin terkesan tren, namun justru menimbulkan banyak kontroversi karena dianggap sangat rentan terhadap peretasan dan manipulasi.
Menurut banyak pakar keamanan pemilu, surat suara kertas adalah sistem pemungutan suara yang terbaik dibandingkan pemungutan suara elektronik karena sulit diretas dan dapat dilakukan pemungutan suara ulang ketika diaudit setelah pemilu.
Sementara itu, pemungutan suara elektronik dapat dengan mudah diretas, diintervensi oleh pihak asing, dan bahkan dimanipulasi. Sebuah penelitian yang dilakukan di Universitas Michigan menemukan bahwa surat suara elektronik dapat diubah tanpa sepengetahuan pemilih.
Namun, slip kertas sendiri mempunyai kekurangan. Kertas lebih sulit untuk dihitung dan tidak selalu dapat diakses oleh semua orang, terutama penyandang disabilitas.
Oleh karena itu, sebagaimana dikutip oleh Digicert, penggunaan mesin elektronik bersamaan dengan sistem audit kertas adalah pilihan paling populer di Amerika Serikat.
Amerika Serikat mulai mengucurkan dana dalam jumlah besar ke mesin pemungutan suara elektronik setelah mendapat protes dari petugas pemilu pada pemilihan presiden tahun 2000 akibat sulitnya pemungutan suara yang sah.
Dalam minggu-minggu setelah pemilu, para pejabat setempat menghabiskan hari-hari mereka dengan mengamati potongan-potongan kecil surat suara yang disebut “chuds”.
Di banyak daerah di Amerika Serikat, masyarakat memilih kandidat favorit mereka dengan cara melubangi surat suara dengan pin.
Mesin penghitung surat suara menyatakan suatu surat suara sah hanya jika item yang dipermasalahkan telah dikeluarkan seluruhnya dari surat suara. Oleh karena itu, sangat bermasalah jika surat suara yang telah dipilih masih menempel atau tergantung pada kertas suara.
Untuk mencegah hal seperti ini terjadi lagi, pemerintah AS telah menyiapkan $3 miliar (sekitar 47 triliun rupiah) untuk membeli mesin pemungutan suara elektronik.
Pemerintah berharap setelah Chad, petugas pemilu tidak lagi harus bersusah payah dan kebingungan dalam menentukan keabsahan surat suara.
Namun ironisnya, tindakan yang bermaksud baik tersebut malah menimbulkan kecurigaan di kalangan warga. Ada kecurigaan bahwa mesin tersebut rentan terhadap peretasan, laporan bahwa mesin tersebut mengungkap data pemilih, dan tuduhan bahwa penghitungan suara dapat dimanipulasi, seperti dikutip dari Reuters.
Oleh karena itu, banyak warga yang memilih untuk tetap menggunakan surat suara dibandingkan pemungutan suara elektronik.
Meski demikian, sebagian warga masih mempercayai pemungutan suara elektronik dan masih menggunakannya hingga saat ini. (blq/baca)