Jakarta, CNN Indonesia –
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil singkong terbesar di dunia. Tak heran jika hari-hari masyarakat Indonesia kerap diiringi dengan berbagai jenis kerupuk.
Padahal, kehadiran kerupuk tak lepas dari melimpahnya hasil panen singkong Indonesia.
Singkong sendiri diperkenalkan oleh bangsa Portugis pada abad ke 15 dan 16, dan umbinya sebenarnya berasal dari Amerika Selatan.
“Orang Portugis sangat mempengaruhi keanekaragaman hayati nusantara,” kata sejarawan dan penulis makanan Andreas Marioto kepada fun-eastern.com.
Ketersediaan kerupuk serta melimpahnya produksi singkong pada masa dan setelah masa Kultuurstelsel diyakini telah dibangun oleh pemerintah Belanda Timur.
Menurut berbagai sumber, saat itu setiap desa wajib mengalokasikan sebagian lahannya untuk budidaya barang-barang yang dianggap bermanfaat, seperti teh, kina, kopi, dan kakao. Sebab, sebagian besar lahan digunakan untuk tanaman yang dianggap tanaman komersial dan masyarakat hanya bisa menanam singkong untuk kebutuhan sehari-hari, kata Andreas seraya menambahkan bahwa produksi singkong sangat melimpah pada periode yang sama. Hal ini pula yang mendorong masyarakat untuk menguji kreativitasnya dalam mengolah hasil panen singkong yang melimpah. “Dalam konteks ini, mungkin inilah alasan masyarakat semakin akrab dengan singkong. Mereka mulai memproduksi berbagai jenis singkong.” kata Andreas.
Jawa Barat dikenal sebagai salah satu daerah penghasil singkong terbesar. Oleh karena itu timbul hipotesis bahwa industri kerupuk modern bermula dari Jawa Barat, tepatnya di Ciamis.
Meski hipotesis tersebut ada, Andreas mengatakan belum ada bukti kuat bahwa industri kerupuk dimulai di Jawa Barat, khususnya di Ciamis.
Namun jika bisa dikoneksikan, terlihat dengan adanya rel kereta api di Jawa Barat yang dibangun karena adanya perkebunan singkong. Hal serupa juga dilakukan di Semarang, Solo, Yogyakarta, dan Silakap yang dibangun jalur kereta api karena di sana terdapat perkebunan tebu.
“Di sebelah barat [Pulau Jawa] tumbuh singkong. Salah satu jalur kereta api dibangun untuk mengangkutnya,” kata Andreas.
Fadli Rahman, pakar kuliner Universitas Padjajaran, membenarkan bahwa wilayah Siam termasuk salah satu daerah yang dianggap penghasil kerupuk. Terdapat banyak pusat kerupuk, yang menyeimbangkan tingginya permintaan akan kerupuk.
Dikatakannya, pada masa penjajahan Belanda, para penjual kerupuk mempunyai ciri khas tersendiri yaitu membawa kaleng-kaleng besar berwarna “hitam” dan membawanya dengan tandu. Kerupuk siam juga dikirim ke Bandung lalu ke Batavia atau Jakarta.
“Sungguh hebat yang kemudian melahirkan kerupuk siam yang terkenal,” kata Fadli saat dihubungi Hungry.
Kerupuk masih ada bahkan pada masa kelaparan atau Depresi Besar pada tahun 1920-an dan 1930-an.
Fadli mengatakan, harga pangan hewani seperti keju, susu, dan daging mengalami kenaikan signifikan pada periode ini. Semuanya adalah masakan Belanda.
Padahal, lanjutnya, yang mampu bertahan dan bertahan selama ini adalah masyarakat setempat. Serangkaian penelitian yang diidentifikasi Fadli menunjukkan bahwa masyarakat adat hanya bisa bertahan hidup dengan nasi, lalapan, ikan asin, kerupuk, dan sambal.
“Orang-orang Eropa paling menderita. Mereka mengonsumsi protein hewani yang harganya relatif mahal pada saat itu. Jadi ya itu yang kita sampaikan, kerupuk itu simbol kemiskinan, simbol kepedulian,” ujarnya. (umur/umur)